Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang menanyakan
hukum melakukan transaksi jual beli dengan system MLM (Multi Level Marketing).
Tulisan di bawah ini mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan tersebut:
Pengertian MLM
MLM adalah sistem penjualan yang memanfaatkan konsumen
sebagai tenaga penyalur secara langsung. Sistem penjualan ini menggunakan
beberapa level (tingkatan) di dalam pemasaran barang dagangannya.
Promotor (upline) adalah anggota yang
sudah mendapatkan hak keanggotaan terlebih dahulu, sedangkan bawahan (downline)
adalah anggota baru yang mendaftar atau direkrut oleh promotor. Akan tetapi,
pada beberapa sistem tertentu, jenjang keanggotaan ini bisa berubah-ubah sesuai
dengan syarat pembayaran atau pembelian tertentu.
Komisi yang diberikan dalam pemasaran berjenjang
dihitung berdasarkan banyaknya jasa distribusi
yang otomatis terjadi jika bawahan melakukan pembelian barang. Promotor akan
mendapatkan bagian komisi tertentu sebagai bentuk balas jasa atas perekrutan
bawahan.
Harga barang yang ditawarkan di tingkat konsumen
adalah harga produksi ditambah komisi yang menjadi hak konsumen karena secara
tidak langsung telah membantu kelancaran distribusi.
(http://id.wikipedia.org)
Untuk menjadi keanggotaan MLM, seseorang biasanya
diharuskan mengisi formulir dan membayar uang dalam jumlah tertentu dan kadang
diharuskan membeli produk tertentu dari perusahaan MLM tersebut, tetapi kadang
ada yang tidak mensyaratkan untuk membeli produk tersebut. Pembayaran dan
pembelian produk tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan point tertentu.
Kadang point bisa didapatkan oleh anggota jika
ada pembelian langsung dari produk yang dipasarkan, maupun melalui pembelian
tidak langsung melalui jaringan keanggotaan. Tetapi kadang point bisa diperoleh
tanpa pembelian produk, namun dilihat dari banyak dan sedikitnya anggota yang
bisa direkrut oleh orang tersebut, yang sering disebut dengan pemakelaran.
Transaksi jual beli dengan menggunakan sistem MLM
hukumnya haram. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut :
Alasan Pertama: Di dalam
transaksi dengan metode MLM, seorang anggota mempunyai dua kedudukan: Kedudukan
pertama, sebagai pembeli produk, karena dia membeli produk secara
langsung dari perusahaan atau distributor. Pada setiap pembelian, biasanya dia
akan mendapatkan bonus berupa potongan harga.
Kedudukan kedua, sebagai makelar, karena
selain membeli produk tersebut, dia harus berusaha merekrut anggota baru.
Setiap perekrutan dia mendapatkan bonus juga.
Pertanyaannya adalah bagaimana hukum melakukan
satu akad dengan menghasilkan dua akad sekaligus, yaitu sebagai pembeli dan
makelar?
Dalam Islam hal itu dilarang, ini berdasarkan
hadist-hadist di bawah ini:
1. Hadits abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
“Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam
telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian.”( HR Tirmidzi, Nasai
dan Ahmad. Berkata Imam Tirmidzi : Hadist Abu Hurairah adalah hadist Hasan
Shahih dan bisa menjadi pedoman amal menurut para ulama)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata tentang
hadist ini, sebagaimana dinukil Imam Tirmidzi, “Yaitu jika seseorang
mengatakan, ’Aku menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat
kamu harus menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Jika budakmu sudah
menjadi milikku berarti rumahku juga menjadi milikmu’.” (Sunan Tirmidzi,
Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, Juz : 3, hlm. 533)
Kesimpulannya bahwa melakukan dua macam akad
dalam satu transaksi yang mengikat satu dengan yang lainnya adalah haram
berdasarkan hadist di atas.
2. Hadist Abdullah bin Amr, bahwasanya Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا
رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
"Tidak halal menjual sesuatu dengan
syarat memberikan hutangan, dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan menjual
sesuatu yang belum engkau jamin, serta menjual sesuatu yang bukan
milikmu." (HR. Abu Daud)
Hadits di atas juga menerangkan tentang keharaman
melakukan dua transaksi dalam satu akad, seperti melakukan akad utang piutang
dan jual beli, satu dengan yang lainnya saling mengikat. Contohnya: Seseorang
berkata kepada temannya, “Saya akan jual rumah ini kepadamu dengan syarat kamu
meminjamkan mobilmu kepada saya selama satu bulan.” Alasan diharamkan transaksi
seperti ini adalah tidak jelasnya harga barang dan menggantungkan suatu
transaksi kepada syarat yang belum tentu terjadi. (Al Mubarkufuri, Tuhfadh
al Ahwadzi, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, Juz : 4, hlm. 358, asy
Syaukani, Nailul Author, Riyadh, Dar an Nafais, juz : 5, hlm: 173)
Alasan Kedua: Di dalam MLM
terdapat makelar berantai. Sebenarnya makelar (samsarah)
dibolehkan di dalam Islam, yaitu transaksi di mana pihak pertama mendapatkan
imbalan atas usahanya memasarkan produk dan pertemukannya dengan pembelinya.
Adapun makelar di dalam MLM bukanlah memasarkan
produk, tetapi memasarkan komisi. Maka, kita dapatkan setiap anggota MLM
memasarkan produk kepada orang yang akan memasarkan dan seterusnya, sehingga
terjadilah pemasaran berantai. Dan ini tidak dibolehkan karena akadnya
mengandung gharar dan spekulatif.
Alasan Ketiga: Di dalam MLM
terdapat unsur perjudian, karena seseorang ketika membeli salah satu produk
yang ditawarkan, sebenarnya niatnya bukan karena ingin memanfaatkan atau
memakai produk tersebut, tetapi dia membelinya sekedar sebagai sarana untuk
mendapatkan point yang nilainya jauh lebih besar dari harga barang tersebut.
Sedangkan nilai yang diharapkan tersebut belum tentu ia dapatkan.
Perjudian juga seperti itu, yaitu seseorang
menaruh sejumlah uang di meja perjudian, dengan harapan untuk meraup keuntungan
yang lebih banyak, padahal keuntungan tersebut belum tentu bisa ia dapatkan.
Alasan Keempat: Di dalam MLM
banyak terdapat unsur gharar (spekulatif) atau sesuatu yang tidak ada
kejelasan yang diharamkan Syariat, karena anggota yang sudah membeli
produk tadi, mengharap keuntungan yang lebih banyak. Tetapi dia sendiri tidak
mengetahui apakah berhasil mendapatkan keuntungan tersebut atau malah merugi.
Dan Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi
wasallam sendiri melarang setiap transaksi yang mengandung gharar,
sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya
ia berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam
melarang jual beli dengan cara al-hashah (yaitu: jual beli dengan melempar
kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur gharar (spekulatif).“ (HR.
Muslim, no: 2783)
Alasan Kelima: Di dalam MLM
terdapat hal-hal yang bertentangan dengan kaidah umum jual beli, seperti kaidah
: Al Ghunmu bi al Ghurmi, yang artinya bahwa keuntungan itu sesuai
dengan tenaga yang dikeluarkan atau resiko yang dihadapinya. Di dalam MLM ada
pihak-pihak yang paling dirugikan yaitu mereka yang berada di level-level
paling bawah, karena merekalah yang sebenarnya bekerja keras untuk merekrut
anggota baru, tetapi keuntungannya yang menikmati adalah orang-orang yang
berada pada level atas.
Merekalah yang terus menerus mendapatkan
keuntungan-keuntungan tanpa bekerja, dan mereka bersenang-senang di atas
penderitaan orang lain. Apalagi jika mereka kesulitan untuk melakukan
perekrutan, dikarenakan jumlah anggota sudah sangat banyak.
Alasan Keenam: Sebagian ulama
mengatakan bahwa transaksi dengan sistem MLM mengandung riba riba fadhl,
karena anggotanya membayar sejumlah kecil dari hartanya untuk
mendapatkan jumlah yang lebih besar darinya, seakan-akan ia menukar uang dengan
uang dengan jumlah yang berbeda. Inilah yang disebut dengan riba fadhl (ada
selisih seakan-akan ia menukar uang dengan uang dengan jumlah yang berbeda.
Inilah yang disebut dengan riba fadhl (ada selisih nilai). Begitu juga termasuk
dalam kategori riba nasi’ah, karena anggotanya mendapatkan uang
penggantinya tidak secara cash.
Sementara produk yang dijual oleh perusahaan
kepada konsumen tiada lain hanya sebagai sarana untuk barter uang tersebut dan
bukan menjadi tujuan anggota, sehingga keberadaannya tidak berpengaruh dalam
hukum transaksi ini.
Keharaman jual beli dengan sistem MLM ini,
sebenarnya sudah difatwakan oleh sejumlah ulama di Timur Tengah, diantaranya
adalah Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan yang dikeluarkan pada tanggal 17
Rabi’ul Akhir 1424 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juni 2003 M pada majelis no.
3/24. Kemudian dikuatkan dengan Fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi pada tanggal
14/3/1425 dengan nomor (22935). Wallahu A’lam