by: manshur musthofa
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Penyebaran ilmu Filsafat yunani telah tersebar di
zaman al-ghazali, dan dipandang telah menggoncang keimanan. Karena kekaguman
mereka yang berlebihan terhadap filsafat yunani yang dipandang telah atheis, mereka mengekor
padanya sampai pada tingkat keingkaran dan kekufuran. Filsafat yunani begitu
menarik bagi para cendikiawan muslim, sehingga mereka hanya mentransfer dan
bertaqlid buta. Melihat kondisi ini al-ghazali bertekat mempelajari dan
mendalami filsafat untuk dapat mengkritik secara bijaksana dan ilmiah
Al-ghazali adalah seorang ahli fikir islam yang dalam
ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya, puluhan buku
telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu antara lain teologi Islam,
hukum islam, tasawuf tafsir, ahlaq dan adab kesopanan.
Pengaruh al-ghazali di
kalangan kaum mulimin sangat besar, sehingga menurut pandangan-pandangan
orang-orang ahli ketimuran (orientalis), agama islam yang di gambarkan oleh
kebanyakan kaum muslimin berpangkal pada konsepsi al-ghazali
Al-ghazali Dalam kitabnya yang
berjudul tahafut falasifah melukiskan suatu sisi yang bertentangan antara agama
dan filsafat. Pertentangan ini, dalam islam telah muncul dalam berbagai wujud
dan bentuk yang berbeda sejak filsafat memasuki kehidupan umat islam. Pada
waktu islam lahir dan alqur’an diturunkan filsafat belum ada di sana, sehingga
alquran dan hadist tidak perlu mendebatkannya.
- RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana biografi al-ghazali?
- karya imam al-ghazali?
- bagaimanakah sikap al-ghazali terhadap para filosof ?
BAB II
PEMBAHASAN
- Riwayat Hidup Al-Ghozali
Beliau adalah abu hamid bin Muhammad bin ahmad al
ghazali, lahir tahun 450 H di tus, suatu kota kecil di khurasan (iran). Kata
kata ghazali terkadang diucapkan dengan dua z. dengan menduakalikan huruf z,
kata al ghazzali di ambil dari kata ghazzal, artinya tukang pemintal benang
wol, sedang al-ghazali dengan satu z, diambil dari kata ghazalah, nama kampong
kelahiran al-ghozali. Sebutan terahir ini banyak dipakai.
Ayah al-ghazali, adalah seorang tasawuf yang sholeh dan
meninggal dunia ketika al-ghazali beserta saudaranya masih kecil. Akan tetapi
sebelum wafatnya beliau telah menitipkan kedua anaknya tersebut kepada seorang
tasawuf pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam hidupnya.
Al-ghazali pertama kali belajar belajar agama di kota
tus, kemudian meneruskan di jurjan, dan ahirnya di naisabur pada imam juwaini,
sampai yang terakhir ini wafat tahun 478H/1085M. kemudian beliau berkunjung
kepada nidham al-Mulk di kota mu’askar, dan dari padanya mendapatkan kehormatan
dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu enam tahun lamanya.
Pada tahun 483H/1090M, ia diangkat menjadi guru disekolah nizhamah bagdad, dan
pekerjaannya dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di bagdad selain
mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran
golongan-golongan batiniyah, isma’iliah, golongan filsafat dan lain-lain.
Ketika itu, kehidupannya goncang, karena keraguan yang
meliputi dirinya, “apakah jalan yang ditempuh sudah benar atau tidak?” perasaan
ini timbul dalam dirinya setelah mempelajari ilmu kalam (teologi) yang
diperoleh dari al juaini. Teologi
membahas berbagai aliran yang antara satu sama lain terhadap kontradiksi. Al
ghazali ragu, mana diantara aliran-aliran itu yang betul-betul benar. Bukunya
yang berjudul al munqiz min ad-dalal menjelaskan tentang keadaan ini. Dalam
bukunya ini tergambar keinginan untuk mencari kebenaran yang sebenarnya.
Alghzali mulai tidak percaya pada ilmu pengetahuan yan diperolehnya melalui
panca indra, sebab panca indra sering kali salah atau berdusta. Ia kemudian
meletakkan kepercayaan kepada akal, tetapi ternyata juga tidak memuaskan.
Tasawuflah yang kemudian menghilangkan rasa syak dalam dirinya. Pengetahuan
tasawuf yang diperolehnya melalui kalbu membuat al ghazali merasa yakin
mendapat pengetahuan yang benar.[1]
kemudian ia pindah ke palestina dan disini pun ia
tetap merenung, membaca dan menulis dengan mengambil tempat di masjid baitil
maqdis, sesudah itu tergeraklah hatinya untuk menjalankan ibadah haji, dan
setelah selesai ia pulang ke negeri kelahirannya sendiri, yaitu kota tus dan
disana ia tetap seperti biasanya, berkhalwat dan beribadah, keadaan tersebut
berlangsung 10 tahun lamanya sejak kepindahannya ke damsyik dan dalam masa ini
ia menuliskan buku-bukunya yang terkenal antara lain ihya’ulumudiin[2]
pada tahun 499 H, atas desakan para penguasa ia
diminta mengajar di nizamiyah, akan tetapi hanya sampai dua tahun ia kembali ke
daerah asalnya (Tus). Di sini ia mendirikan sekolah untuk para fuqoha dan juga
membangun tempat berkhalwat para mutasawifin. Pada tahun 505 H/1111 M. ia
mendapat gelar “hujjatul Islam” karena ia dapat mengadakan
pembelaan yang berhasil dan memuaskan terhadap anasir yang dapat membahayakan
kepercayaan dan akidah umat islam dan dapat pula meluruskan tasawuf yang
merusak amal (Syari’at )umat islam.[3]
- Karya Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali dikenal sebagai penulis produktif.
Sejumlah karyanya kini tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Bidang Ushuluddin dan Akidah
1. Arba’in Fi Ushuliddin merupakan juz kedua dari kitabnya, Jawahir
Alquran.
2. Qawa’id al-’Aqa`id yang disatukan dengan Ihya` Ulumuddin pada jilid pertama.
2. Qawa’id al-’Aqa`id yang disatukan dengan Ihya` Ulumuddin pada jilid pertama.
3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
4. Tahafut Al Falasifah berisi bantahan Al-Ghazali
terhadap pendapat dan pemikiran para filsuf, dengan menggunakan kaidah mazhab
Asy’ariyah.
5. Faishal At-Tafriqah Bayn al-Islam Wa Zanadiqah.
Bidang Usul Fikih, Fikih, Filsafat, dan Tasawuf
1. Al-Mustashfa Min Ilmi al-Ushul
2. Mahakun Nadzar
3. Mi’yar al’Ilmi
4. Ma’arif al-`Aqliyah
5. Misykat al-Anwar
6. Al-Maqshad Al-Asna Fi Syarhi Asma Allah Al-Husna
7. Mizan al-Amal
8. Al-Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi
9. Al-Ajwibah Al-Ghazaliyah Fi al-Masa1il Ukhrawiyah
10. Ma’arij al-Qudsi fi Madariji Ma’rifati An-Nafsi
11. Qanun At-Ta’wil
12. Fadhaih Al-Bathiniyah
13. Al-Qisthas Al-Mustaqim
14. Iljam al-Awam ‘An ‘Ilmi al-Kalam
15. Raudhah ath-Thalibin Wa Umdah al-Salikin
16. Ar-Risalah Al-Laduniyah
17. Ihya` Ulum al-din
18. Al-Munqidzu Min adl-Dlalal
19.Al-Wasith
20. Al-Basith
21. Al-Wajiz
22. Al-Khulashah
23. Minhaj al-’Abidin
Masih banyak lagi karya Imam Al-Ghazali. Begitu banyak
karya yang dihasilkan, menunjukkan keluasan ilmu yang dimiliki oleh Al-Ghazali.
Ia merupakan pakar dan ahli dalam bidang fikih, namun menguasai juga tasawuf,
filsafat, dan ilmu kalam. Sejumlah pihak memberikan gelar padanya sebagai
seorang Hujjah al-Islam.
Karya Imam Al-Ghazali yang sangat terkenal di dunia
adalah kitab Ihya` Ulum al-din. Kitab ini merupakan magnum opus atau masterpiece
Al-Ghazali. Bahkan, kitab ini telah menjadi rujukan umat Islam di seluruh
dunia, termasuk Indonesia dalam mempelajari ilmu tasawuf. Di dalamnya,
dijelaskan tentang jalan seorang hamba untuk menuju ke hadirat Allah.
C . Kritik Al-Ghazali Terhadap Para
Filosof
Filsafat yunani betul betul telah tersebar di zaman
al-ghazali, sampai hampir menggoncang iman. Para cendikiawan menerimanya tanpa
menyeleksi, mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan. Karena kekaguman
mereka yang berlebihan terhadap filsafat yunani yang atheis itu, mereka
mengekor padanya sampai pada tingkat keingkaran dan kekufuran. Filsafat yunani
begitu menarik bagi para cendikiawan muslim, sehingga mereka hanya mentransfer
dan bertaqlid buta. Melihat kondisi ini al-ghazali bertekat mempelajari dan
mendalami filsafat untuk dapat mengkritik secara bijaksana dan ilmiah[4]
Diantara kitab-kitab yang sangat popular dalam dunia
filsafat islam, bahkan dalam lingkungan filsafat Kristen di zaman pertengahan
adalah Tahafut Falasifah. Dari segi logat, tahafut berarti keguguran
dan kelemahan. Yang dimaksudkan ialah bahwa para filosof telah jatuh mati
akibat tikaman maut yang diarahkan oleh al-ghazali terhadap pemikiran mereka.
Pada hakikatnya, tikaman itu memang mematikan, mengenai inti masalah, sehingga
ilmu filsafat tidak lagi muncul sesudah itu (di dunia Islam), walau ada upaya
mati-matian dari ibnu rusdy untuk mempertahankannya.[5]
Al-Ghazali adalah orang pertama-tama mendalami
filsafat dan yang sanggup mengeritiknya pula. Hasil peninjauan terhadap
filsafat dibukukannya dalam bukunya maqasid al-falasifah dan tahafut al-falasifah.
Buku maqasid al falasifah berisi tiga persoalan
filsafat, yaitu logika, ketuhanan dan fisika yang diuraikanya dengan
sejujurnya, seolah-olah dia seorang filosof yang menulis tentang kefilsafatan.
Sesudah itu, ia menulis buku berikutnya, yaitu tahafut al falasifah dimana
ia bertindak bukan sebagai filosof, melainkan sebagai seorang tokoh Islam yang
hendak mengeritik filsafat dan menunjukkan kelemahan-kelemahan serta
kejanggalan-kejanggalannya, yaitu dalam hal yang berlawanan dengan agama.
Menurut al-ghazali, lapangan filsafat ada enam, yaitu
:matematika,logika,fisika, metafisika (ketuhanan), politik, dan etika. Hubungan
lapangan-lapangan tersebut terhadap agama tidak sama; ada yang tidak berlawanan
sama sekali dengan agama, dan ada pula yang sangat berlawanan dengan agama.
Menurut
al-ghazali, agama tidak melarang atau memerintahkan ilmu matematika
(ilmu pasti), karena ilmu ini adalah hasil pembuktian pikiran yang tidak bisa
diingkari sesedah dipahami dan diketahui. Tetapi ilmu tersebut menimbulkan dua
keberatan, pertama, karena kebenaran dan ketelitian ilmu matematika, maka boleh
jadi ada orang yang mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula
keadaannya bahkan sampai pada lapangan ketuhanan. Kedua, sikap yang timbul dari
pemeluk islam yang bodoh, yaitu menduga bahwa un tuk menegakkan agama harus
mengingkari semua ilmu yang berasal dari filosof-filosof, dan mengatakan bahwa
mereka bodoh semua, sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga
harus diingkari dan dianggap berlawanan dengan syara’
Lapangan logika menurut
al-ghazali juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama, atau dengan perkataan
lain, agama tidak memerintahkan atau melarang logika. Logika berisi
penyelidikan tentang dalil-dalil( alasan-alasan) pembuktian, kias-kias (syllogisme),
syarat-syarat pembuktian (burhan) definisi-definisi dan sebagainya. Semua
persoalan ini tidak perlu diingkari, sebab masih sejenis dengan yang dipakai
oleh ulama-ulama theology islam, meskipun kadang-kadang berbeda istilah dan
kata-katanya. Bahaya yang di timbulkan oleh logika dan filosof-filosof, ialah
karena syarat-syarat pembuktian bisa menimbulkan keyakinan, maka syarat-syarat
pembuktian tersebut juga mendahului dalam soal-soal ketuhanan (metafisika),
sedangkan sebenarnya tidak demikian.
Ilmu fisika, menurut
al-ghazali membicarakan tentang planet-planet, unsur-unsur (benda-benda))
tunggal, seperti air, hawa, tanah dan api; kemudian benda-benda tersusun
seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, logam sebab-sebab perubahannya dan pelarutannya.
Pembahasan tersebut sejenis dengan pembahasan lapangan kedokteran, yaitu menyelidiki
tubuh orang, anggota-anggota badannya dan reaksi-reaksi kimia yang terjadi di
dalamnya. Sebagaimana untuk agama tidak disyaratkan tidak mengingkari ilmu
kedokteran, maka demikian pula ilmu fisika juga tidak perlu diingkari, kecuali
dalam beberapa hal yang disebutkan dalam buku tahafut al falasifah, yang dapat
disimpulkan bahwa alam semesta ini di kuasai (tunduk) kepada tuhan, tidak bekerja dengan diinya
sendiri, tetapi bekerja karena tuhan,Zat penciptanya.
Lapangan ketuhanan
(metafisika) menurut al-ghazali, banyak sekali berisi kesalahan
filosof-filosof. Mereka tidak bisa mengadakan ketelitian dalam lapangan
ketuhanan, sebagaimana yang telah diadakan oleh mereka dalam lapanganlogika,
dan oleh karena itu perbedaan pendapat mereka dalam lapangan tersebut banyak
sekali. Diantara tokoh yunani yang mendekati filosof-filosof islam, seperti
yang dinukil oleh al-farabi dan ibnu sina ialah aristoteles. Kesalahan
kesalahan mereka dalam lapangan tersebut ada 20 soal; dan dalam 17 diantaranya
mereka harus dinyatakan sebagai orang bidat, sedang dalam tiga soal
selebihnya, mereka dinyatakan sebagai ateis (kafir), karena fikiran-fikiran
mereka dalam tiga soal tersebut berlawanan dengan pendirian semua kaum
muslimin.
Dalam lapangan politik,
menurut al-ghazali, semua kata-kata para filosof berkisar pada suatu soal saja,
yaitu hikmat kebijaksanaan yang bertalian dengan soal-soal dan kekuasaan
duniawi.
Dalam segi moral (akhlak)
perkataan mereka berkisar pada sifat jiwa, macam macamnya dan cara menghadapinya.[6]
masalah dua puluh macam tersebut
dapat di bagi sebagai berikut:
- hubungan allah dengan alam. Hal ini meliputi empat masalah yang pertama:
a)
kadimnya alam,
b)
keabadian alam dan zaman
c)
allah pencipta dan pembuat alam, dan
d)
ketidak mampuan membuktikan adanya
pembuat alam
- keesaan dan ketidak mampuan membuktikannya (masalah kelima)
- sifat sifat ilahi (masalah ke enam sampai dengan dua belas)
- mengetahui hal-hal kecil “juz iyah” (masalah ke tigabelas)
- masalah falaq dan alam (masalah keempat belas sampai keenam belas)
- sebab akibat (masalah ketujuh belas)
- jiwa manusia (masalah kedelapan belas dan sembilan belas)
- kebangkitan jasad pada hari akhirat ( masalah kedua puluh)[7]
Tiga pikiran filsafat metafisika yang menurut
al-ghazali sangat berlawanan dengan islam, dan oleh karenanya para filosof
harus dinyatakan sebagai orang atheis ialah: qadimnya alam, tidak mengetahuinya
tuhan terhadap soal-soal peristiwa kecil, dan pengingkaran terhadap kebangkitan
jasmani.
a.
Qadimnya alam
Filosof mengatakan bahwa alam ini qadim. Qadimnya
tuhan atas alam sama dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (sebab atas
akibatnya) yaitu dari segi zat dan tingkatan, bukan dari segi zaman. Alasannya
adalah tidak mungkin wujud yang hadis (baru), yaitu alam, keluar dari qadim
(tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim
tersebut sudah ada sedang alam belum lagi ada.
Tentang mengapa alam belum wujud, maka hal ini
disebabkan pada waktu itu hal hal yang menyebabkan wujudnya belum ada. Jadi
pada waktu tersebut ala mini baru merupakan suatu kemungkinan murni artinya
bisa wujud bisa tidak.
Sesudah wahyu itu datang, maka ala mini menjadi wujud,
dan wujud ini disebabkan karena factor-faktor yang menyebabkan wujudnya. Tetapi
timbul pertanyaan mengapa factor-faktor tersebut baru timbul pada waktu ini dan
tidak timbul sebelumnya. Kalau dikatakan tuha mula-mula tidak berkuasa
mengadakan alam, kemudian menjadi kuasa untuk mengadakannya, maka timbul pula
pertanyaan, mengapa kekuasaan ini baru timbul pada masa tersebut bukan pada
masa sebelumnya. Atau kalau dikatakan tuhan sebelumnya tidak mempunyai tujuan bagi wujudnya alam, kemudian maksud ini
timbul, maka pertanyaan yang muncul juga sama, yaitu mengapa tujuan itu timbul.
Atau kalau dikatakan tuhan mula-mula tidak menghendaki adanya, maka timbul
pertanyaan mengapa kehendak tersebut timbul dan dimana pula timbulnya,apakah
pada zatnya atau pada selain zatnya .
Jawaban al-ghazali: apa keberatannya kalau dikatakan
bahwa iradat (kehendak tuhan) yang qadim itu menghendaki wujud alam pada waktu
diwujudkannya.
Boleh jadi timbul pertanyaan, kalau yang dimaksud
dengan iradah yang qadim itu seperti niat kita untuk mengadakan suatu
perbuatan, maka perbuatan tersebut tidak mungkin terlambat, kecuali karena ada
halangan, sedangkan bagi tuhan sebagai zat yang mengadakan pembuatan, sudah
lengkap syarat-syaratnya dan tidak ada hal yang perlu dinantikan lagi,tetapi
perbuatannya terlambat juga.
Jawab al-ghazali ialah, bahwa perkataan tersebut tidak
lebih kuat dari pada perkataan mereka yang mempercayai kebaruan alam karena
kehendak yang qadim.
Timbul pula pertanyaan lain yaitu bahwa nilai semua
waktu dalam pertaliannya dengan kehendak adalah sama, tetapi mengapa satu waktu
dipilih untuk mewujudkan alam, dan waktu yang sebelumnya atau sesudahnya tidak
dipilih?
Jawab alghazali ialah, bahwa arti kehendak ialah yang
memungkinkan untuk membedakan sesuatu dari lainnya. Kehendak tuhan adalah
mutlaq, artinya bisa memilih suatu waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa
ditanya sebabnya, karena sebab tersebut adalah kehendak-Nya itu sendiri. Kalau
masih ditanya sebabnya, maka artinya kehendak tuhan itu terbatas tidak lagi
bebas; sedangkan kehendak itu bersifat bebas dan mutlaq[8].
b.
Ilmu Tuhan Terhadap Hal-Hal/Peristiwa Kecil
Golongan filosof berpendirian bahwa tuhan tidak
mengetahui hal-hal kecil, kecuali dengan cara yang umum. Alasannya mereka
adalah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan
ilmu selalu mengikuti kepada yang diketahui atau dengan perkataan lain,
perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu ini
berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu, atau sebaliknya, berarti tuhan
mengalami perubahan, sedangkan perubahan zat tuhan tidak mungkin terjadi.
Menurut al-Ghazali: ilmu adalah suatu tambahan atau pertalian
dengan zat, artinya lain dari pada zatnya. Pendapat ini berbeda dengan pendapat
para filosof yang mengatakan bahwa sifat-sifat tuhan adalah juga zat-Nya, yang
berarti tidak ada pemisahan antara keduanya, atau mereka tidak mengenal istilah
tambahan seperti yang dikenalkan oleh al-ghazali.
Menurut alghazali
Kalau terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat tuhan tetap
pada keadaan yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada orang berdiri di sebelah
kanan kita, kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah
sebenarnya dia, bukan kita.
Lagi pula kalau perubahan ilmu bisa menimbulkan
sesuatu perubahan pada zat yang mengetahui, sebagai mana yang di pegangi oleh
golongan filosof, maka apakah mereka akan mengatakan bahwa berbilangnya ilmu
juga menimbulkan bilangan pada zat tuhan[9].
c.
Kebangkitan Jasmani
Menurut tinjauan filosof-filosof dari segi pikiran,
alam akhirat adalah alam kerohanian, bukan alam materiil (alam kebendaan),
karena perkara kerohanian itu lebih tinggi nilainya. Karena itu menurut mereka,
pikiran tidak mengharuskan adanya kebangkitan jasmani, kelezatan atau siksaan
jasmani, surga atau neraka serta segala isinya. Kesemuanya itu memang disebut
dalam alquran, tetapi dengan maksud untuk memudahkan pemahaman terhadap alam
kerohanian bagi orang-orang biasa. Keunggulan alam kerohanian sebenarnya juga
berlaku dalam dunia ini, yang didasarkan pada kekuatan berfikir dan kelezatan
mendapatkan obyek-obyek pikiran. Tetapi hal itu tidak bisa dicapai disebabkan karena
kesibukan-kesibukan benda, dan baru dicpai di akhirat nanti, dimana
kesibukan-kesibukan benda ini tidak lagi menjadi penghalangnya.
Agar sesuai dengan suasana kerohanian, maka
kebangkitan di akhirat nanti bersifat rohani pula. Jadi kebangkitan jasmani yang
berarti badan kita akan dikembalikan lagi tidak perlu terjadi.
Jawaban al-ghazali mengatakan bahwa jiwa manusia tetap
wujud sesudah mati (berpisah dengan badan), karena ia merupakan substansi yang
berdiri sendiri. Pendirian trsebut tidak berlawanan dengan syara’ bahkan di
tunjukkan seperti yang disebutkan dalam alquran surat Ali Imran “ janganlah
engkau kira bahwa mereka yang terbunuh pada jalan allah itu mati, bahkan mereka
itu hidup disisi tuhannya mendapat rizki dan gembira
Kemudian adanya nash-nash lain yang menyatakan adanya
kebangkitan, yaitu kebangkitan badan. Kebangkitan ini adalah suatu hal yang
mungkin yaitu dengan jalan mengembalikan jiwa kepada badan, badan apapun
juga,baik dari bahan badan yang pertama atau bahan lainnya, atau bahan badan
yang baru dijadikan sama sekali. Karena manusia disebut manusia karena jiwanya,
bukan karena badannya. Bagian-bagian badan manusia dapat berganti-ganti dari kecil menjadi besar, karena kurus atau
gemuk, atau karena pergantian makanan namun ia tetap manusia juga.
Tuhan telah dapat membuat dari sperma yang ada di
rahim wanita, anggota-anggota badan yang bermacam-macam,berupa daging,urat
syaraf,tulang,mata, lidah, gigi dan sebagainya yang semuanya ini berbeda keadaan sifat dan fungsinya, meskipun saling
berdekatan dan berhubungan satu sama lain. Apakah tuhan yang demikian
kekuasaan-Nya tidak sanggup membuat manusia yang sempurna dari tulang belulang
yang sudah rusak.[10]
BAB III
KESIMPULAN
Menurut al-ghazali, lapangan filsafat ada enam, yaitu
:matematika,logika,fisika, metafisika (ketuhanan), politik, dan etika. Hubungan
lapangan-lapangan tersebut terhadap agama tidak sama; ada yang tidak berlawanan
sama sekali dengan agama, dan ada pula yang sangat berlawanan dengan agama.
Menurut
al-ghazali, agama tidak melarang atau memerintahkan ilmu matematika
(ilmu pasti), karena ilmu ini adalah hasil pembuktian pikiran yang tidak bisa
diingkari sesedah dipahami dan diketahui. Tetapi ilmu tersebut menimbulkan dua
keberatan, pertama, karena kebenaran dan ketelitian ilmu matematika, maka boleh
jadi ada orang yang mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula
keadaannya bahkan sampai pada lapangan ketuhanan. Kedua, sikap yang timbul dari
pemeluk islam yang bodoh, yaitu menduga bahwa untuk menegakkan agama harus
mengingkari semua ilmu yang berasal dari filosof-filosof, dan mengatakan bahwa
mereka bodoh semua, sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga
harus diingkari dan dianggap berlawanan dengan syara
Isi pokok mengenai kecaman al
ghazali terhadap tiga persoalan itu adalah sebagai berikut pertama tentang
qadimnya alam, menurut al ghazali pendapat ini membwa kepada keyakinan akan
adanya yang qadim selain tuhan, atau berarti mbanyak yang qadim, sedang dalam
islam yang qadim hanya satu yaitu tuhan. Kedua tuhan tidak mengetahui perincian
yang etrjadi di alam, menurut al ghazali pendapat ini akan menyesatkan umat
islam karena paham ini membawa kepada pengingkaran sifat kemahatahuan tuhan.
Ketiga tentang tidak adanya pembangkitan jasmani, yang abadi hanya ruh,
sedangkan jasmani akan hancur dan tida kekal, alghazali berpendapat bahwa dalam
alquran banyak ayat-ayat yang menyebutkan soal pembangkitan jasmanidengan
gambaran yang bersifat materiil, sehingga meyakini tidak adanya pembangkitan
jasmani berarti menolak ayat ayat yang menyatakan adanya pembangkitan jasmani.
DAFTAR PUSTAKA
Asmuni.Yusron.1996,
Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Busthami.M.Said,
1992. Pembaharu Dan Pembaharuan Dalam Islam. Ponorogo: Pusat Studi Ilmu
dan Amal (PSIA)
Tim penyusun,
1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Houve
Hanafi,
Ahmad.1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: PT Bulan
Bintang
Daudy, Ahmad,1984. Segi-Segi Pemikiran Falsafi
Dalam Islam.Jakarta: Bulan Bintang
[1]
Lihat tim penyusun, 1994,ensiklopedi islam hal 26
[3]
Lihat asmuni.yusron.1996,dirasah islamiyah II hal 134
[4]
Lihat busthami.M.Said, 1992. pembaharu dan pembaharuan dalam islam hal 78-79
[5]
Lihat daudy, ahmad,1984.segi-segi pemikiran falsafi dalam islam.hal 57
[6]
Lihat hanafi, ahmad hal 143-144
[7]
Lihat Daudy, ahmad hal 66
[8]
Lihat hanafi, ahmad hal 144-146
[9]
Ibid hal 148-149
[10]
Ibid hal. 150-152
Tidak ada komentar:
Posting Komentar