NUWUN SEWU

Foto saya
banyuwangi, jawa timur, Indonesia
Kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni,kena takon ning aja ngrusuhi

Rabu, 29 Februari 2012

SEJENAK NYANTAI NGOPI DI GUNUNG GUMITIR


TEORI DASAR STUDY ISLAM


BY: MANSHUR MUSTHOFA
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Ibarat spektrum cahaya, Islam itu terpancar menjadi beragam dimensi. Semua dimensi itu pada hakikatnya adalah satu yaitu Islam. Tidak semua muslim mampu menangkap seluruh dimensi yang dipancarkan oleh islam. Setiap muslim hanya mampu menangkap dimensi dimensi tertentu, sesuai dengan kemampuan  daya tangkap dan visinya masing-masing.
Studi Islam bukanlah tumbuh dan berkembang dari realitas historis yang hampa, ia hadir secara kronoligis dalam konteks ruang dan waktu yang jelas, hal ini terjadi sebagai respon sejarah atas sejumlah persoalan keagamaan yang dialami umat Islam.
Selanjutnya studi Islam juga merupakan bagian dari sebuah kajian keislaman dengan wilayah telaah materi ajaran agama dan fenomena kehidupan beragama. Pendekatan yang dilakukan biasanya melalui berbagai disiplin keilmuan, baik yang bersifat dokrinal-normative maupun histories–empiris. Secara metodologis kedua pendekatan tersebut merupakan elemen yang sangat penting dalam kajian keislaman semisal pendekatan tentang Islam dalam konteks normative keagamaan yang harus dijangkau oleh kaum muslimin dengan pendekatan tentang Islam yang merupakan lapangan kajian.
  1. Pokok Masalah
Dari latar belakang di atas maka dalam makalah ini akan disajikan beberapa pokok permasalahan yang perlu diketahui dalam konteks kajian  studi Islam, adapun pokok masalahnya adalah sebagai berikut:
1.          Definisi studi Islam.
2.          Pokok-pokok ajaran Islam sebagai dasar studi  Islam.
3.          Urgensi dan Signifikansi studi Islam

A.    Islam Sebagai Pengertian Yang Sebenarnya
Islam adalah agama yang ajaran-ajaranya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Islam pada hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia, sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil aspek itu adalah Al-Qur’an dan hadits (Harun Nasution, 1985: 24).
Ajaran yang terpenting dari Islam adalah Tauhid yakni pengakuan tentang adanya Tuhan Yang Maha  Esa. Hal ini juga menjadi dasar kerasulan, wahyu, soal musyrik dan kafir, hubungan makhluk, surga neraka dan sebagainya yang mana kesemuanya ini dibahas dalam ilmu tauhid atau dalam istilah baratnya disebut Teologi. Aspek Teologi merupakan aspek yang paling penting sebagai dasar bagi Islam.
Salah satu ajaran dasar lain dalam agama Islam adalah bahwa manusia yang tersusun dari badan dan roh itu berasal dari Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tuhan adalah suci dan roh yang datang dari Tuhan juga suci kalau ia menjadi kotor dengan masuknya ia ke dalam tubuh manusia yang bersifat materi, ia tidak akan dapat kembali ke tempat asalnya. Oleh karena itu harus diusahakan supaya roh tetap suci dan manusia menjadi baik.
1.    Pengertian Studi Islam
Secara etimologi studi Islam merupakan terjemahan dari bahasa arab Dirasah Islamiyah sedangkan dalam kajian Islam di barat di sebut Islamic studies yang mempunyai arti kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan keislaman, sedangkan pengertian studi Islam secara terminologis adalah kajian secara sistematis dan terpadu untuk memahami dan menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam baik yang menyangkut sumber-sumber ajaran Islam, pokok ajaran Islam, sejarah Islam maupun realitas pelaksanaanya dalam kehidupan (IAIN Press, 2002: 1).
Sedangkan menurut Abudin Nata yang dimaksud dengan studi Islam adalah pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia (2009: 152).
Selanjutnya Masdar Hilmy didalam bukunya Studi Islam juga menerangkan bahwa studi Islam (Islamologi) merupakan sebuah kajian yang mempelajari Islam hanya sebatas Islam sebagai ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini, Islam dikaji bukan untuk dipraktikkan dalam tataran normativitas melainkan hanya didorong oleh tuntutan profesionalisme kajian keislaman. (Masdar Hilmy,2005: 28).
Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa studi Islam merupakan sebuah kajian keislaman yang dirumuskan berdasarkan sumber ajaran Islam dan pokok ajaran Islam dalam tataran historisitas-empiris dan dipraktekkan dalam kehidupan manusia. Maka dari itu konsep dasar studi Islam mengacu pada pokok-pokok ajaran Islam dalam benteng sumber ajaran Islam.

B. Pokok-Pokok Ajaran Islam Sebagai Dasar Studi Islam
1. Akidah Sebagai Dasar Studi Islam
Akidah berasal dari bahasa Arab “aqada-ya’qidu-‘aqdan” yang artinya mengikat. Secara etimologi akidah bisa diartikan sebagai keimanan atau keyakinan, sedangkan secara terminologi akidah adalah ikatan hati seseorang kepada sesuatu yang diyakini dan diimaninya dan ikatan tersebut tidak boleh dilepaskan selama hidupnya (IAIN Press, 2002: 71).
Dengan demikian akidah merupakan sisi teoritis yang pertama kali harus diimani atau diyakini dengan keyakinan yang mantap tanpa keraguan sedikitpun. Terlebih hal ini dibuktikan dengan banyaknya nash-nash Al-Qur’an maupun hadits mutawatir yang secara eksplisit menjelaskan persoalan ini (enam rukun iman), disamping adanya dakwah-dakwah para ulama’ sejak pertama kali ajaran Islam di dakwahkan oleh Rasulullah. Dan perkara itulah yang menjadi inti ajaran Allah kepada para rasul sebelumnya.
Dalam hakikat dan maknanya, tauhid atau akidah berdiri diatas tiga kriteria yang talazum (simbiosis mutualisme), satu sama lain tak terpisahkan.terjadinya kesenjangan pada salah satu sendi diatas akan mengakibatkan kefatalan pada bagian yg lain, ketiga kriteria tersebut adalah (1) tauhid rububiyah, (2) tauhid uluhiyah, dan (3) tauhid hakimiyah. (daud rasyid, 1998:18)
Tauhid rububiyah adalah melekatnya semua sifat sifat ta’tsir(yang mengandung unsur dominasi atau pengaruh) pada allah SWT, umpamanya sifat pencipta, pemberi rizki,pengatur alam, yang menghidupkan, yang mematian,pemberi petunjuk dan sebagainya. Dari sini dapat diketahui bahwa makna rububiyah beserta segala konsekwensinya, tidak mungkin dimiliki secara sempurna dan hakiki oleh siapa pun, selain dari Allah SWT. dariNYA bersumber wujud (keberadaan) dan segala sifat sifat yang sesuai dengan kedudukannya sebagai mahluk.
Tauhid uluhiyah adalah bahwa hanya allah semata-mata yang berhak diperlakukan sebagai tempat khudhu’(tunduk merendah)oleh hambanya dalam beribadah dan taat. Dengan kata lain, tak ada yang berhak dipatuhi  secara mutlaq selain allah SWT. Semua manusia adalah hamba allah, hamba yang betul betul berlaku dan berpenampilan sebagai hamba. Bukan hamba yang berlagak sebagai raja. Manusia tidak berhak meperbudak manusia lainnya dengan alasan apapun
Tauhid al-hakimiyah yang mengandung arti hanya allah lah yang berhak membuat ketentuan,peraturan, dan hukum. Setiap muslim berkeharusan menaati perintah dan larangan allah.(daud rasyid,1998:17-22)  
2.    Syari’ah Sebagai Dasar Studi Islam
Kata syari’ah berarti jalan tempat keluarnya air untuk minum, kemudian bangsa Arab pada waktu itu menggunakan kata ini untuk konotasi jalan lurus. Sehingga ketika dipakai dalam pembahasan hukum maka syari’ah ini mempunyai makna segala sesuatu yang di syari’atkan Allah kepada hamba-hambanya sebagai jalan yang lurus untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. (IAIN Press, 2002: 101).
Selanjutnya Mahmud Shaltout memberikan pengertian yang jelas mengenai syari’ah yakni ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah atau hasil pemahaman atas dasar ketentuan tersebut untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia baik hubungan dengan Tuhan, dengan manusia lain, dengan alam dan dalam menata kehidupan yang lain.
Aspek hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan di sebut ibadah, Aspek hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan lingkungan disebut muamalah. Selanjutnya disiplin ilmu yang membahas masalah syari’ah adalah Fiqh.( IAIN Press, 2002:102).

3.      Akhlak Sebagai Dasar Studi Islam
Secara etimologi kata akhlak mempunyai arti budi pekerti, peringai, tingkah laku atau tabiat. Sedangkan secara terminologi banyak pakar yang mencoba mendefinisikan akhlak salah satunya adalah Al-Ghazali. Akhlah menurut Al-Ghazali adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. (IAIN Press, 2002: 103).
Dengan demikian akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa manusia dan ia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu serta tidak memerlukan adanya dorongan dari luar dirinya.
Dari ketiga pokok ajaran Islam di atas baik itu akidah, syari’ah dan akhlak merupakan dasar bagi pemikiran studi Islam yang melakukan kajian Ilmiah terhadap Islam. Pada umumnya Apabila konteks ajaran itu bersifat doktrinal normative maka ajaran itu dibangun, diramu, dibakukan, dan ditelaah lewat pendekatan doctrinal-teologis, sedang Apabila konteks ajaran itu bersifat historis-empiris maka studi Islam mempunyai peran untuk mengkaji konteks ajaran Islam ini secara paripurna, ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan social-keagamaan yang bersifat multi dan interdisipliner, baik lewat pendekatan histories, filosofis, psikologis, sosiologis, cultural maupun antropologis dengan mempertemukan dengan nilai agama yang bersumber pada wahyu maupun hadits.
Dengan demikian studi Islam dapat mempertegas dan memperjelas wilayah agama yang tidak bisa dianalisis dengan kajian empiris yang kebenaraanya bersifat relatif maupun sebaliknya terus melakukan kajian studi keislaman dalam tataran historisitas dengan tujuan menjadikan Islam sebagai agama yang menjadi sasaran studi, baik itu dalam segi doktrinal, sosial dan budaya demi mendapatkan kajian keislaman yang aktual.
Sumber akhlak adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercela.sebagaimana karakteristik keseluruhan ajaran islam, maka sumber islam adalah alquran dan hadist dan bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral.

C.Maksud Dan Tujuan Studi Islam
Merujuk pada sejarah Peradaban Islam untuk dapat menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam normativitas Islam yakni dengan mengadakan studi terhadap Islam maka dinamika histories yang menjadi perwujudan dari ide – ide Islam mulai dari permulaan diturunkannya Islam hingga masa akhir akhir ini baik diwilayah yang menjadi tempat turunnya Islam maupun di wilayah-wilayah lain di berbagai belahan dunia menjadi sangat penting untuk dikaji baik itu dalam lingkungan majlis Ta’lim maupun lingkungan civitas akademika.
Studi ini bisa dilakukan melalui perangkat historis-kultural Yang mana dalam konteks ini menemukan signifikasinya sebagaimana dijelaskan melalui beberapa hal, pertama, pentingnya studi dilakukan sebagai bentuk pemenuhan terhadap motivasi imperative agama untuk meneladani rosul. Kedua, signifikansi dilakukannya studi Islam sebagai alat untuk menafsirkan dan memahami maksud teks-teks suci Al-qur’an . Hal ini karena memahami maksud teks tersebut harus lebih dulu memahami latar belakang sejarah turunnya, atau dalam bahasa teknis agama disebut dengan asbab al-nuzul. Ketiga, studi tersebut penting untuk mengetahui proses dialogis antara normativitas Islam dengan nilai nilai historisitas yang melingkupinya dalam praktis Islam di tengah tengah masyarakat. Hal ini karena pada tataran  historis-empiris, agama ternyata juga sarat dengan berbagai “kepentingan” social kemasyarakatan yang rumit untuk dipisahkan. Keempat, signifikansi dilakukannya kajian histories ini agar nilai perkembangan historis dapat dipergunakan sebagai pertimbangan untuk merekonsruksi disiplin disiplin studi Islam bagi kepentingan masa depan.
Dengan demikian, nilai positif dari kajian studi Islam ini implikasinya sangat jauh, meliputi kerangka teoritis maupun praktis sehingga kemudian menjadikan keterbukaan terhadap kajian keislaman  dan mampu melahirkan berbagai disiplin Ilmu baik itu sosiologi, antropologi, filsafat, sejarah, ilmu bahasa dan sebagainya.

  1. Urgensi Dan Signifikansi Studi Islam
Agama adalah ibarat manusia untuk mengetahui perihal manusia yang lain dan bisa dilakukan dengan dua cara : pertama, membaca ide dan pemikiran yang bersangkutan yang tertuang dalam berbagai karangan, pernyataan dan pekerjaannya, serta kedua, mempelajari biografi kehidupannya. Untuk mengenal agama, harus dilakukan dengan cara mempelajari ide-idenya serta membaca biografinya. Menurut Mukti Ali yang dikutip masdar Hilmy (2005: 20) ide-ide agama terpusat pada kitab sucinya, sedangkan biografi agama dapat ditemukan melalui sejarah yang dialaminya.
Dalam konteks Islam, untuk memahami agama bisa dilakukan penelitian atau studi dengan menggunakan 2 metode pertama mempelajari teks-teks suci Al-Qur’an yang merupakan himpunan dari ide dan out put ilmiah serta literature yang dikenal dalam Islam, kedua mempelajari dinamika histories yang menjadi perwujudan dari ide-ide Islam, mulai dari permulaaan diturunkannya misi Islam terutama masa Nabi Muhammad SAW  hingga masa akhir ini.
Islam yang telah mengalami proses dialogis  dengan masyarkat tidak bisa dihindarkan dari munculnya beragam wajah sebagai gambarannya. Keberagaman itu timbul karena persoalan ruang dan waktu. Perbedaaan ruang dan waktu itu melahirkan perbedaan pemahaman oleh masyarakat  bersangkutan sesuai dengan setting yang mereka hadapi, baik berupa tuntutan maupun tantangan salah satu contoh Islam yang ada di Indonesia berbeda dengan di timur tengah baik pada tataran kognitif maupun praktis social.
Atas dasar permasalahan diatas maka sangat urgen diperolehnya pemahaman Islam secara utuh dan tidak distortif. Argumentasinya adalah bahwa realitas perbedaan diatas bila tidak didekati secara tepat akan menimbulkan pemahaman yang pincang tehadap Islam karena Islam sebagai agama mempunyai dimensi normatif dan histories. Oleh karena itu dalam kaitan ini, memahmi ide-ide Islam yang ada dalam Al-Qur’an urgen sekali dilakukan. Hal ini tampak dari argumentasi bahwa ide-ide dalam kitab suci tersebut merupakan dasar normative dan pondasi dari ajaran-ajaran Islam yang ditawarkan kepada manusia. Al-Qur’an memegang landasan moral bagi gagasan-gagasan dalam praktek seperti ekonomi, politik dan social di tengah-tengah kehidupan manusia. Meski Al-Qur’an meliputi ide-ide normative Islam, teks-teksnya di turunkan kepada Nabi Muhammad saw tidak hanya dalam bentuk idenya semata, melainkan juga disampaikan secara verbal.
Pentingnya dilakukan studi terhadap ide-ide normatif Islam yang terhimpun dalam Al-Qur’an ini agar diperoleh pemahaman normative doctrinal yang cukup terhadap sumber dari teks suci Islam untuk menunjang pemahaman yang  kontekstual – histories sehingga didapatkan pandangan yang relative utuh terhadap Islam dengan berbagai atributnya. Hal yang demikian ini untuk menghindari terjadinya proses distorsi dan reduksi terhadap makna substantif Islam dan sekaligus kesalahan dalam mengambil kesimpulan tentangnya.
Kesalahan dan kegagalan para Ilmuwan Barat dalam mamahami masyarakat Muslim bukan terletak pada “Perspektif tentang kebenaran”  yang berbeda, melainkan  karena ketidaktahuan dan ketidak akuratan dalam memahami masyarakat Muslim. Itulah salah satu diantara penyebab ketidakakuratan adalah kurang diperankanya teks-teks normative Islam dalam kajian masing-masing sebagai landasan normative untuk melihat historisitas Islam.
 Untuk dapat menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam normativitas Islam perlu dilakukan studi terhadap dinamika histories yang menjadi perwujudan dari ide – ide Islam, mulai dari permulaan diturunkannya Islam hingga masa akhir akhir ini baik diwilayah yang menjadi tempat turunnya Islam maupun di wilayah wilayah lain di berbagai belahan dunia.
Untuk menggambarkan  secara numerik dalam kerangka besar urgensi dan signifikansi studi Islam seperti tersebut diatas, maka menurut masdar Hilmy (2005: 24-27) dapat diuraikan sebagai berikut :
a.               Studi Islam diarahkan sebagai instrument untuk memahami dan mengetahui  proses sentrifugal dan sentripetal dari Islam dan masyarakat. Di dalam jantung tradisi studi tadi, terdapat al-Qur’an yang dalam proses legalisasinya memiliki kapasitas dan daya gerak keluar ( sentrifugal), merasuki dan berdialog dengan berbagai  asuhan budaya baru berusaha mendapatkan legalisasi dan legitimasi.
b.              Sebagai konsekuensi poin pertama, studi Islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam konteks untuk memahami cara mendekati Islam, baik pada tataran realitas – empiric maupun normative doktrinal secara utuh dan tuntas. Hal demikian agar pemahaman terhadap Islam tidak pincang. Selama ini, beberapa ahli ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya  para orientalis, mendekati Islam dengan metode Ilmiah saja. Akibatnya, penelitian mereka  tidak bisa menjelaskan secara utuh obyek yang diteliti karena yang mereka hasilkan melalui penelitian itu hanyalah eksternalitas dari Islam semata.
c.               Studi Islam begerak dengan mengusung kepentingan untuk memperoleh pemahaman yang signifikan terhadap persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas dalam rangka menangkap atau memahami esensi atau substansi dari ajaran yang nota bene sudah terlembagakan dalam bentuk aliran-aliran pemikiran (schools of thought).
d.              Studi Islam diselenggarakan untuk menghindari pemahaman yang bersifat campur aduk, tidak dapat menunjukkan distingsi antara wilayah agama dan wilayah tradisi atau budaya. Pencampuradukan itu pada urutannya akan dapat memunculkan pemahaman yang distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolute dan relative.
BAB IV
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Islam adalah agama yang ajaran-ajaranya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Islam pada hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia, sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil aspek itu adalah Al-Qur’an dan hadits.
Pembagian studi tentang Islam memang harus dilakukan karena untuk mengetahui informasi tentang kajian Islam yang harus dijangkau oleh kaum muslimin dengan data dan informasi tentang Islam yang merupakan lapangan kajian atau studi Islam yang dalam bahasan lain disebut Islamologi.
Islamologi mempelajari dan mengkaji Islam hanya sebatas Islam sebagai ilmu pengetahuan.Dalam kaitan ini, Islam dikaji bukan untuk dipraktikkan dalam tataran normativitas melainkan hanya didorong oleh tuntutan profesionalisme kajian keislaman.
Dengan demikian, nilai positif dari kajian studi Islam atau Islamologi ini implikasinya sangat jauh, meliputi kerangka teoritis maupun praktis sehingga kemudian menjadikan keterbukaan terhadap kajian keislaman  dan mampu melahirkan berbagai disiplin Ilmu baik itu sosiologi, antropologi, filsafat, sejarah, ilmu bahasa, ilmu hukum  dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Bandung : Diponegoro
Hilmy, Masdar, MA, Muzakki, Akh, M.Ag, 2005,  Studi Islam, Surabaya: Arkola
IAIN, Sunan Ampel. 2002. Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN Press.
Mudzhar Attho’ H, M, Dr. 2004. Pendekatan Studi Islam (dalam teori dan praktek). Jakarta : Pustaka Pelajar
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai aspek. Jakarta: UI-Press
Nata, Abudin, Prof, Dr, 2009. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rasyid,Daud,DR,MA,1998.Islam Dalam Berbagai Dimensi:Gema Insani Press.

PERAN SUPERVISOR DALAM MENGEVALUASI GURU


by: Manshur Musthofa
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Setiap manusia adalah unik maka tidak ada kondisi yang sama antara guru yang satu dengan guru yang lainnya. Kondisi tersebut diantaranya kemampuan umum, watak, bakat, dan kepribradian.
Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah. Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus menerus. Karena pengaruh perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi  serta mobilitas masyarakat. Itulah sebabnya ulasan  mengenai perlunya supervisi pendidikan itu bertolak dari keyakinan dasar bahwa guru adalah profesi.
Pada saat yang sama terdapat kesadaran diantara para guru, administrator dan supervisor bahwa evaluasi kinerja dibidang apapun adalah sulit. Subyek sensitive terhadap kesalahan kotor dan misjudgment. Tidak ada aspek pengajaran dapat lebih mengancam untuk guru dari pada evaluasi kinerja mereka. Tidak ada aspek administrasi yang lebih menyakitkan bagi seorang administrator yang cermat yaitu mengevaluasi guru. Administrator yang menegaskan bahwa mengevaluasi kinerja guru mudah, tidak mengancam dan rutinitas serius meremehkan kompleksitas dan dampak dari penilaian guru. Administrator dan bukti bukti sikap ini  merupakan salah satu yang telah lupa reaksinya  untuk evaluasi sebagai guru dan siapa yang tidak dikenakan sistematis, evaluasi formal sebagai administrator.
Sementara guru perlu untuk mengembangkan sikap menerima evaluasi sebagai sarana untuk memperbaiki diri dan profesi. System sekolah harus menemukan cara-cara untuk mengevaluasi guru yang layak, adil, manusiawi, dan seobjektif mungkin.
  1. Rumusan Masalah
Agar makalah ini dapat fokus dan tidak melenceng dari tema, maka perlu rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
    1. Bagaimana peran supervisor dalam membantu guru mengevaluasi diri?
    2. Bagaimana Teknik supervisor dalam membantu guru mengevaluasi diri?
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, pembinaan guru adalah hal yang tak terelakkan lagi, sebab guru adalah ‘dalang’ yang menjadi titik tumpu keberhasilan dalam mengantarkan peserta didik menuju kesuksesan dalam belajar. Perlu disadari bahwa guru merupakan sebuah profesi dan oleh karenanya harus terus berkembang kearah yang lebih positif dan lebih baik. Disinilah supervisi dianggap penting untuk dilakukan[1]
      Salah satu prinsip dalam supervisi adalah memberi kesempatan kepada supervisor  dan guru-guru untuk mengadakan ‘’self evaluation’. Hal ini dimaksudkan untuk memupuk kesadaran dari para guru agar mau meningkatkan kualitasnya dalam menjalankan profesi. Selain itu evaluasi juga dianggap sebagai proses untuk menetukan kualitas dari sesuatu atau sebuah pekerjaan[2]
      Dalam hal ini peran supervisor sangat penting, mengingat tidak semua guru bersikap professional pada profesinya. Namun demikian pelaksanaan supervisi harus tetap bijak dan berpegang pada prinsip-prinsip supervisi.
      Tulisan ini mencoba menampilkan ulang konsep yang ditawarkan oleh Peter F oliva tentang peran supervisor dalam membantu  guru untuk melakukan evaluasi pada dirinya. Dan agar dapat diambil nilai manfaat yang lebih berfungsi dicoba untuk dielaborasi  dengan konsep-konsep dari buku lain sehhingga menghasilkan konklusi yang mudah diterapkan dalam konteks kekinian dan keindonesiaan.
      Ringkasan Konsep
Seorang guru sebagai ujung tombak pengajaran selalu berhadapan dengan berbagai hal dimana dia tidak mungkin dapat menyelesaikan masalah keseluruhannya tanpa mendapatkan bantuan dari pihak lain khususnya kepala sekolah/supervisor. Guru selalu berhadapan dengan sesuatu yang selalu berbeda dan berubah, seperti kondisi siswa, kurikulum, tuntutan orang tua/masyarakat, kebutuhan hidupnya dan lain-lain. Dengan adanya pengawasan yang dilakukan oleh pengawas/supervisor akan menambahkan semangat dan motivasi kerja guru dengan cara memperbaiki segala jenis dan bentuk kekurangannya dalam proses belajar mengajar.[3]
Guru kadang-kadang harus merasa bahwa mereka adalah yang paling professional ditempat kerja dan ditempat tinggal mereka dan harus menghindari perilaku yang dianggap merugikan. Karena kinerja mereka selalu diperhatikan dan dinilai oleh siswa, guru-guru lain, pimpinan serta masyarakat umum. Untuk itu seorang guru harus mau dievaluasi kinerjanya agar profesionalisme  seorang guru dapat terjaga  untuk memperbaiki diri.
Evaluasi guru terdiri dari dua komponen. Pertama, evaluasi sumatif yaitu penilaian tahunan yang dilakukan oleh pimpinan. Hal ini tidak hanya untuk perbaikan mutu pembelajaran, tetapi juga pada layanan prima (misalnya keputusan, masa jabatan, jenjang karir dan honorarium) kedua, evaluasi formatif, yaitu penilaian yang dilakukan oleh supervisor secara berkesinambungan untuk mengetahui administrasi mengamati kelas dan melakukan komunikasi dengan guru yang bertujuan membantu mereka meningkatkan hasil pembelajaran.
Selain itu seorang guru harus dapat mengevaluasi dengan buku, dimana guru mengevaluasi diri mereka sendiri dengan sarana yang disediakan supervisor sehingga dapat membantu pelaksanaan system sekolah.
  1. kompetensi yang dievaluasi
Dalam evaluasi guru harus membuat kriteria system penilaian terlebih dahulu, kriteria penilaian terhadap kompetensi yang akan dibuat terdiri dari (1) instrumen keterampilan mengajar, (2) kepribadian dan (3) profesionalisme. Dengan menggunakan instrumen penilaian barulah dilakukan penilaian sesuai langkah-langkah yang telah dibuat. Dalam membuat rincian  penilaian seorang supervisor harus memasukkan rencana pengajaran, bahan-bahan kelas dan prosedur yang tepat; begitu juga evaluasi sikap-kepribaadian dan profesionalisme;walau terstandar secara sederhana. Ketika administrator dan supervisor memulai proses identifikasi kompetensi guru, prinsip, metode dan pengembangan, rencana evaluasi sejak awal adalah cara terbaik untuk menjaga komitmen guru guna proses evaluasi
a.      Evaluasi Keterampilan Mengajar
Untuk mengevaluasi keterampilan mengajar seorang supervisor dapat memasuki kelas guru tanpa pembicaraan dan tak terduga, duduk dibelakang ruangan, mengamati kinerja guru, membuat catatan mengajar sementara, menulis ringkasan dan menyerahkan kepada guru. Selain itu seorang pengawas dapat memberikan pelatihan kepada guru sehingga dapat membantu guru mengevaluasi kinerja mereka sendiri. Dalam menguji kompetensi guru supervisor dapat mengikuti pendekatan yang terdiri dari tiga tahap:
1)      pemeriksaan kinerja guru secara umum
2)      pemerikasaan kinerja guru didalam dan di luar kelas
3)      pemeriksaan performan guru itu sendiri
Dari ketiga pendapat ini dapat menghasilkan dua analisis yaitu:
1) analis eksternal yaitu menilai pembelajaran secara umum diluar kegiatan guru
2) analisis internal yaitu analis yang berfokus pada tindakan guru sendiri.
Tujuan dari kedua analisis tersebut adalah memberikan waktu bagi guru dan pengawas untuk membantu pola fikir positif terhadap evaluasi diri sendiri,dan mengembangkan rasa percaya diri.
Dalam melakukan evaluasi dapat menggunakan beberapa teknik; misalnya model yang diterapkan dalam pembelajaran. Model pembelajaran adalah pola yang diterapkan oleh guru dalam mengajar untuk merancang  bahan ajar bagi sinergi berbagai sumber belajar dalam aspek ini akan menitik beratkan  pada peran guru dalam pembelajaran.
Selanjutnya dapat dengan melihat skenario pembelajaran  (protocol materials). Dalam hal ini dapat diamati bagaimana proses pembelajaran berlangsung. Yang ingin dinilai adalah kepekaan guru dalam melaksanakan pembelajaran, kemampuan dalam memankfaatkan situasi dan kemampuan dalam mengontrol.
Alternatif lain adalah dengan memberikan petunjuk pelaksanaan dalam mengajar. Dalam menerapkan teknik ini supervisor pada ahirnya dapat mengevaluasi kinerja guru apakah sesuai dengan yang di targetkan apa belum, baik dari segi pelaksanaannya ataupun hasil.
Selain itu dapat juga dengan pendekatan laboratorium. Maksudnya adalah dengan menghadirkan sekelompok siswa kemudian guru yang akan diberi supervise diminta untuk demonstrasi mengajar. Dalam kegiatan evaluasi semacam ini apa yang tampak pada guru sebagai kekurangan dalam mengajar diberitahukan dan agar selanjutnya diperbaiki.
Dalam evaluasi kemampuan mengajar guru dapat juga dengan pendekatan observasi. Cara ini dilakukan dengan membuat instrumen observasi yang berupa seperangkat kriteria untuk guru, siswa atau kedua-duanya.
      b. Evaluasi Kepribadian Dan Profesionalisme
Dalam evaluasi guru terkait dengan kepribadian dan profesionalisme ternyata ada masalah tersendiri yang harus diselesaikan oleh supervisor, yaitu standart mana yang harus digunakan. Kriteria dan indikator sikap dan profesionalitas masih sangat terbatas. Belum lagi kalau ada perbedaan antara guru dan supervisor. Oleh karenanya supervisor harus menentukan dan membuat kesepakatan atau seolah-olah kesepakatan dengan guru; tentunya dengan cara yang bijak dan efektif.
      c. Penggunaan perangkat evaluasi
Perangkat- perangkat yang digunakan dalam evaluasi guru dapat dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu evaluasi yang dilakukan oleh guru itu sendiri dan supervisor, penilaian siswa dengan memanfaatkan wali murid
      d. Evaluasi oleh guru dan supervisor
Evaluasi guru baik skill mengajar, kepribadian dan profesionalitas pada awalnya harus dilakukan oleh guru itu sendiri kemudian evaluasi oleh supervisor dengan menggunakan instrument yang sama. Setelah masing-masing melakukan evaluasi kemudian mendiskusikan hasil-hasil evaluasinya. Hasil dari diskusi itu adalah rencana perbaikan pada masa berikutnya yang pelaksanaannya masing-masing antara guru dan supervisor saling bekerjasama dalam monitoring
     e. Memanfaatkan siswa dalam evaluasi guru
Dalam mengajar guru harus berorientasi pada siswa. Dengan demikian siswa harus memiliki persepsi yang positif pada gurunya, sehingga merasa nyaman dalam mengajar. Dalam memenuhi kebutuhan ini harus ada manajemen yang menyediakan program penilaian guru oleh siswa dalam pembelajaran. Caranya adalah dengan memberikan instrumen penilaian agar di isi oleh siswa. Hal ini akan membantu dalam pengembangan skill mengajarnya dengan mempertimbangkan sudut pandang siswa.
f. Memanfaatkan orang tua dalam evaluasi guru
Memanfaatkan penilaian orang tua dalam evaluasi guru dimaksudkan menggali kepedulian orang tua tentang guru anaknya di sekolah. Apakah sekolah sudah menyediakan guru terbaik bagi anaknya
B. Teknik-teknik supervisi pendidikan
Usaha untuk membantu meningkatkan dan mengembangkanpotensi sumber daya guru dapat dilaksanakan dengan berbagai alat dan teknik supervisi.     
Umumnya alat dan teknik supervise dapat dibedakan menjadi dua macam alat/teknik, pertama, teknik yang bersifat individual,yaitu teknik yang dilaksanakan  untuk seorang guru secara individual, dan kedua, teknik secara kelompok, yaitu teknik yang dilakukan untuk melayani lebih dari satu orang.
Teknik yang bersifat individual diantaranya[4]:
a. perkunjungan kelas yaitu kepala sekolah atau supervisor datang kekelas untuk meluhat cara guru mengajar di kelas, tujuannya adalah untuk memperoleh data mengenai keadaan sebenarnya selama guru mengajar. Dengan data itu supervisor dapat berbincang-bincang dengan guru tentang kesulitan yang dihadapi guru. Pada kesempatan itu guru dapat mengemukakan pengalaman-pengalaman yang berhasil dan hambatan-hambatan yang dihadapi serta meminta bantuan,  hal ini berfungsi sebagai alat untuk mendorong guru agar meningkatkan cara mengajar guru dan cara belajar siswa. Perkunjungan ini dapat memberikan kesempatan guru-guru untuk mengungkap pengalamannya sekaligus sebagai usaha untuk memberikan rasa mampu pada guru. Karena guru dapat belajar dan memperoleh pengertian secara moral bagi pertumbuhan kariernya.
      b.observasi kelas
      Ada dua jenis yaitu observasi langsung dan tidak langsung. Observasi langsung yaitu dengan menggunakan alat observasi, supervisor mencatat absen yang dilihat pada saat guru sedang mengajar. Sedangkan observasi tidak langsung, orang yang diobservasi dibatasi oleh ruang kaca dimana murid murid tidak menghetahuinya (biasanya dilakukan dalam laboratorium untuk pengajaran mikro). Tujuan dari observasi kelas adalah untuk memperoleh data seobjektif mungkin sehingga bahan yang diperoleh dapat di gunakan untuk menganalisis kesulitan kesulitan yang dihadapi  guru-guru dalam usaha memperbaiki hal belajar mengajar, dan bagi guru sendiri data yang dianalilis akan dapat membantu untuk mengubah cara-cara mengajar kearah yang lebi baik.
     c.Percakapan Pribadi (individual conference)
yaitu percakapan pribadi antara seorang supervisor dengan seorang guru. Dalam percakapan itu kedua-duanya berusaha berjumpa dalam pengertian tentang mengajar yang baik. Yang dipercayakan adalah usaha-usaha untuk memecahkan problem yang dihadapi oleh guru. Adam dan Dickey mengatakan bahwa salah satu alat yang penting dalam supervise adalah individual conference, sebab seorang supervisor dapat bekerka secara individual dengan guru dalam memecahkan problema-problema pribadi yang berhubungan dengan jabatan mengajar misalnya pemilihan dan pemakaian alat-alat pelajaran tentang penentuan dan penggunaan metode mengajar dan sebagainya. Hal ini bertujuan memperbaiki kelemahan-kelemahan dan kekurangan yang sering dialami oleh seoran guru dalam melaksanakan tugasnya di sekolah, misalnya malas malas membua persiapan, kurang membaca buku yang terbaru, malas mengoreksi dan mengembalikan kertas ulangan muroid-murid.
   d. saling mengunjungi kelas (intervisitation)
Yang dimaksud dengan intervisitation adalah saling mengunjungi antara guru yang satu kepada guru yang lain yang sedang mengajar, hal ini dapat memberi ksempatan mengamati rekan lain  yang sedang memberi pelajaran, juga dapat membantu guru- guru yang ingin memperoleh pengalaman atau keterampilan tntang teknik atau metode mengajar serta berguna bagi guru-guru yang menghadapi kesulitan tertentu dalam mengajar. Hal ini juga dapat memberikan motivasi yang terarah terhadap aktifitas mengajar, karena rekan guru mudah belajar dari temannya sendiri karena keakrabannya.
   e. menilai diri sendiri (self evaluation checklist)
Salah satu tugas tersukar bagi guru-guru ialah melihat kemampuan diri sendiri dalam menyajikan bahan pelajaran. Untuk mengukur kemampuan mengajarnya, disamping menilai murid-muridnya, juga penilaian terhadap diri sendiri merupakan teknik yang dapat membantu guru dalam pertumbuhannya. Tipe dari alat ini yang dipergunakan antara lain berupa :
1.            Suatu daftar pandangan/pendapat yang disampaikan kepada murid-murid untuk menilai pekerjaan atau suatu aktifitas. Biasanya disusun dalam bentuk bertanya baik secara tertutup maupun secara terbuka dan tidak perlu memakai nama
2.            menganalisis tes-tes terhadap unit-unit kerja.
3.            Mencatat aktifitas murid-murid dalam suatu catatan(record) baik mereka bekerja perseorangan ataupun kelompok
Berikut ini adalah contoh self evaluation chek list yang di isi oleh guru sendiri tentang kegiatan-kegiatan guru yang mengajar. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengenai kegiatan yang dilakukan guru selama berlangsung proes belajar mengajar. Tujuannya adalah agar guru dapat melihat dirinya sendiri. Apakah ia melaksanakan kegiatan itu atau tidak.
Self Evaluation Check List
No
Kegiatan selama mengajar
Ya
tidak

Selama mengajar saya melaksanakan:


1
Mengajukan pertanyaan yang tepat.


2
Mengajukan pertanyaan tentang fakta-fakta.


3
Memancing pertanyaan dari murid


4
Menjelaskan dan membaca dari buku


5
Dan lain lain



Selanjutnya adalah Teknik kelompok[5]:
Teknik kelompok ialah: supervise yang dilakukan secara kelompok, beberapa kegiatan yang dapat dilakukan antara lain:
a)      mengadakan pertemuan atau rapat
b)      mengadakan diskusi kelompok
c)      mengadakan penataran-penataran (inservice training) 
C. Peran Supervisor Dalam Membantu Guru Mengevaluasi Diri
            Seperti yang sudah dijelaskan di depan bahwa tugas yang tersukar bagi guru-guru ialah melihat kemampuan diri sendiri dalam menyajikan bahan pelajaran. Untuk mengukur kemampuan mengajarnya.
      Masalah masalah umum yang sering dihadapi guru dalam tugas mengajar dan  mendidik mencakup[6]:
  1. membantu guru dalam menterjemahkan kurikulum dari pusat kedalam bahasa belajar-mengajar
  2. membantu guru-guru dalam meningkatkan program belajar mengajar termasuk disini merancang program,melaksanakan serta membantu dalam menilai proses dan hasil belajar mengajar.
Konsistensi supervisor dalam melakukan self evaluation berkenaan dengan upaya membantu guru, merupakan hal yang perlu dilakukan. Program supervisi dikembangkan dengan mengkaji kebutuhan guru yang sebenarnya. Tujuan pengajaran bukan sekedar rumusan kalimat tetapi dapat menjawab permasalahan pokok yang terkait dengan konsep ideal yang menjadi tujuan dan pandangan hidup masyarakat.
Guru terkadang dalam proses pengajaran tidak memiliki tujuan yang jelas, mengajar berdasarkan buku paket, dan mungkin tujuan hanya satu domain (kognitif). Dihadapkan pada guru yang demikian, jelas mereka memerlukan bantuan supervisor dalam memperbaiki kualitas pengajarannya. Sehingga esensi kegiatan supervisi akan tercapai manakala terjadi peningkatan kualitas pengajaran yang dilakukan secara kontinu (berkelanjutan).
   A. Mengevaluasi Proses Pembelajaran
1.      Apakah siswa kita mengetahui tujuan setiap pembelajaran dari mata pelajaran yang ia pelajari?
2.      Apakah siswa kita mengetahui  mengapa suatu topik dipelajari dan apa aplikasinya dari setiap topik itu?
3.      Apakah guru telah memberi tahu siswanya  tentang kemampuan apa yang harus mereka miliki  setelah pembelajaran dilakukan?
4.      Apakah guru memberi tahu siswa bagaimana caranya memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk setiap topik?
5.      Apakah guru memberi tahu siswa sejak awal tentang tugas-tugas apa yang harus mereka selesaikan selama mengikuti suatu topik?
6.      Apakah guru sering memberikan stimulus dan motivasi pada siswa?
7.      Apakah siswa merasa aman untuk bertanya pada guru?
8.        Apakah guru memperlakukan secara adil kepada setiap siswanya?
9.      Apakah tugas-tugas yang diberikan kepada siswa sudah sewajarnya?
10.  Apakah guru senantiasa mengajak berpikir rasional berpendapat secara proporsional dan menyanggah secara logis?
11.  Apakah guru selalu menghargai sekecil apapun kinerja siswa?

     B. Mengevaluasi Faktor Pendukung Pembelajaran
  1. Apakah guru menggunakan material pembelajaran yang variatif?
  2. Dapatkah guru mengidentifikasi alat pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajarannya?
  3. Apakah guru memaksimalkan sarana fisik di sekolah untuk pembelajaran?
  4. Apakah guru telah menugaskan siswa mencari sesuatu dari perpustakaan?
  5. Apakah guru telah memanfaatkan sumber daya lingkungan di luar sekolah untuk kegiatan pembelajaran?
C. Mengevaluasi Minat dan Sikap Siswa Belajar
1.      Pernahkah guru menggunakan fasilitas psikotes bagi para siswanya?
2.      Pernahkah guru mengevaluasi pekerjaan siswa  berkaitan dengan minat dan sikapnya terhadap mata pelajaran yang dipelajari siswa?
3.      Pernahkah siswa diberikan tes diagnostik tentang minat dan sikap siswa terhadap suatu mata pelajaran?
4.      Apakah guru memberikan contoh konkrit tentang suatu konsep berkaitan dengan minat siswa?
5.      Apakah guru pernah mengobservasi kegiatan siswa di luar sekolah untuk mengidentifikasi  permasalahan belajarnya?
Beberapa pertanyaan di atas adalah pertanyaan minimal yang dapat diajukan untuk mengevaluasi diri tentang program, proses, faktor pendukung suatu pembelajaran yang dilaksanakan seorang guru.   Tentu saja, serangkaian pertanyaan lain yang dipandang perlu dan berkaitan dengan kegiatan mengevaluasi diri bisa ditambahkan ketika seorang guru melakukan evaluasi diri[7].







BAB III
KESIMPULAN

Demikianlah sekelumit tentang evaluasi diri yang bisa dikembangkan untuk kebutuhan guru mengajar dan kebutuhan siswa belajar.  Evaluasi diri akan terasa berat bila dalam pembelajaran tidak mulai dipraktekkan.  Seiring dengan era keterbukaan dan transparansi dalam berbagai sektor, maka sudah sewajarnya setiap pelaku pendidikan dalam mengakhiri kegiatan pembelajarannya dengan melakukan evaluasi diri.
Salah satu prinsip dalam supervisi adalah memberi kesempatan kepada supervisor  dan guru-guru untuk mengadakan ‘’self evaluation’. Hal ini dimaksudkan untuk memupuk kesadaran dari para guru agar mau meningkatkan kualitasnya dalam menjalankan profesi. Selain itu evaluasi juga dianggap sebagai proses untuk menetukan kualitas dari sesuatu atau sebuah pekerjaan
      Dalam hal ini peran supervisor sangat penting, mengingat tidak semua guru bersikap professional pada profesinya. Namun demikian pelaksanaan supervisi harus tetap bijak dan berpegang pada prinsip-prinsip supervisi.
Konsistensi supervisor dalam melakukan self evaluation berkenaan dengan upaya membantu guru, merupakan hal yang perlu dilakukan. Program supervisi dikembangkan dengan mengkaji kebutuhan guru yang sebenarnya meliputi Mengevaluasi Proses Pembelajaran, Mengevaluasi Faktor Pendukung Pembelajaran, Mengevaluasi Minat dan Sikap Siswa Belajar












DAFTAR PUSTAKA

Oliva, Peter. F. 1984. Supervison for Today’s School. New York: Longman.
Purwanto,Ngalim. 2008 Administrasi dan supervise pendidikan.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sahertian, Piet A. 2000. Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia.Jakarta: PT Rineka Cipta.
Gunawan, Ary H.1996  Adminidtrasi Sekolah Adminidtrasi Pendidikan Mikro. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Veitzal Rivai dan Silviana Murni. 2009. Education Management. Jakarta : Rajawali Press


[1] Lihat sahertian, piet A 2009 konsep dasar & teknik supervise pendidikan dalam rangka pengembangan SDM :hlm 1
[2] Lihat Nurkancana, wayan dan sumartana (2000) evaluasi pendidikan hlm 1 dan bandingkan dengan Arikunto, Suharsimi (1996) dasar dasar evaluasi pendidikan, hlm 2
[3]  Lihat Veithzal Rivai dan Sylviana Murni hal. 818.

[4] Lihat sahertian, piet A 2009 konsep dasar & teknik supervise pendidikan dalam rangka pengembangan SDM :hlm 52
[5] Lihat purwanto.ngalim 2008 administrasi dan supervise pendidikan :hlm 122
[6] Lihat sahertian, piet A. 2000, konsep dasar dan teknik supervise pendidikan dalam rangka pengembangan sumber daya manusia hal 130
[7]Lihat  http://rbaryans.wordpress.com/2010/12/29mengevaluasi-efektifitas-pembelajaran-melalui-evaluasi-diri

kritik al gozali terhadap filosof


by: manshur musthofa
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
Penyebaran ilmu Filsafat yunani telah tersebar di zaman al-ghazali, dan dipandang telah menggoncang keimanan. Karena kekaguman mereka yang berlebihan terhadap filsafat yunani yang  dipandang telah atheis, mereka mengekor padanya sampai pada tingkat keingkaran dan kekufuran. Filsafat yunani begitu menarik bagi para cendikiawan muslim, sehingga mereka hanya mentransfer dan bertaqlid buta. Melihat kondisi ini al-ghazali bertekat mempelajari dan mendalami filsafat untuk dapat mengkritik secara bijaksana dan ilmiah
Al-ghazali adalah seorang ahli fikir islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya, puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu antara lain teologi Islam, hukum islam, tasawuf tafsir, ahlaq dan adab kesopanan.
      Pengaruh al-ghazali di kalangan kaum mulimin sangat besar, sehingga menurut pandangan-pandangan orang-orang ahli ketimuran (orientalis), agama islam yang di gambarkan oleh kebanyakan kaum muslimin berpangkal pada konsepsi al-ghazali
      Al-ghazali Dalam kitabnya yang berjudul tahafut falasifah melukiskan suatu sisi yang bertentangan antara agama dan filsafat. Pertentangan ini, dalam islam telah muncul dalam berbagai wujud dan bentuk yang berbeda sejak filsafat memasuki kehidupan umat islam. Pada waktu islam lahir dan alqur’an diturunkan filsafat belum ada di sana, sehingga alquran dan hadist tidak perlu mendebatkannya.

  1. RUMUSAN MASALAH
  1. Bagaimana biografi al-ghazali?
  2. karya imam al-ghazali?
  3. bagaimanakah sikap al-ghazali terhadap para filosof ?




BAB II
PEMBAHASAN
  1. Riwayat Hidup Al-Ghozali

Beliau adalah abu hamid bin Muhammad bin ahmad al ghazali, lahir tahun 450 H di tus, suatu kota kecil di khurasan (iran). Kata kata ghazali terkadang diucapkan dengan dua z. dengan menduakalikan huruf z, kata al ghazzali di ambil dari kata ghazzal, artinya tukang pemintal benang wol, sedang al-ghazali dengan satu z, diambil dari kata ghazalah, nama kampong kelahiran al-ghozali. Sebutan terahir ini banyak dipakai.
Ayah al-ghazali, adalah seorang tasawuf yang sholeh dan meninggal dunia ketika al-ghazali beserta saudaranya masih kecil. Akan tetapi sebelum wafatnya beliau telah menitipkan kedua anaknya tersebut kepada seorang tasawuf pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam hidupnya.
Al-ghazali pertama kali belajar belajar agama di kota tus, kemudian meneruskan di jurjan, dan ahirnya di naisabur pada imam juwaini, sampai yang terakhir ini wafat tahun 478H/1085M. kemudian beliau berkunjung kepada nidham al-Mulk di kota mu’askar, dan dari padanya mendapatkan kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu enam tahun lamanya. Pada tahun 483H/1090M, ia diangkat menjadi guru disekolah nizhamah bagdad, dan pekerjaannya dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di bagdad selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan-golongan batiniyah, isma’iliah, golongan filsafat dan lain-lain.
Ketika itu, kehidupannya goncang, karena keraguan yang meliputi dirinya, “apakah jalan yang ditempuh sudah benar atau tidak?” perasaan ini timbul dalam dirinya setelah mempelajari ilmu kalam (teologi) yang diperoleh  dari al juaini. Teologi membahas berbagai aliran yang antara satu sama lain terhadap kontradiksi. Al ghazali ragu, mana diantara aliran-aliran itu yang betul-betul benar. Bukunya yang berjudul al munqiz min ad-dalal menjelaskan tentang keadaan ini. Dalam bukunya ini tergambar keinginan untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Alghzali mulai tidak percaya pada ilmu pengetahuan yan diperolehnya melalui panca indra, sebab panca indra sering kali salah atau berdusta. Ia kemudian meletakkan kepercayaan kepada akal, tetapi ternyata juga tidak memuaskan. Tasawuflah yang kemudian menghilangkan rasa syak dalam dirinya. Pengetahuan tasawuf yang diperolehnya melalui kalbu membuat al ghazali merasa yakin mendapat pengetahuan yang benar.[1]
kemudian ia pindah ke palestina dan disini pun ia tetap merenung, membaca dan menulis dengan mengambil tempat di masjid baitil maqdis, sesudah itu tergeraklah hatinya untuk menjalankan ibadah haji, dan setelah selesai ia pulang ke negeri kelahirannya sendiri, yaitu kota tus dan disana ia tetap seperti biasanya, berkhalwat dan beribadah, keadaan tersebut berlangsung 10 tahun lamanya sejak kepindahannya ke damsyik dan dalam masa ini ia menuliskan buku-bukunya yang terkenal antara lain ihya’ulumudiin[2]
pada tahun 499 H, atas desakan para penguasa ia diminta mengajar di nizamiyah, akan tetapi hanya sampai dua tahun ia kembali ke daerah asalnya (Tus). Di sini ia mendirikan sekolah untuk para fuqoha dan juga membangun tempat berkhalwat para mutasawifin. Pada tahun 505 H/1111 M. ia mendapat gelar “hujjatul Islam” karena ia dapat mengadakan pembelaan yang berhasil dan memuaskan terhadap anasir yang dapat membahayakan kepercayaan dan akidah umat islam dan dapat pula meluruskan tasawuf yang merusak amal (Syari’at )umat islam.[3]
  1. Karya Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali dikenal sebagai penulis produktif. Sejumlah karyanya kini tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Bidang Ushuluddin dan Akidah
1. Arba’in Fi Ushuliddin merupakan juz kedua dari kitabnya, Jawahir Alquran.
2. Qawa’id al-’Aqa`id yang disatukan dengan Ihya` Ulumuddin pada jilid pertama.
3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
4. Tahafut Al Falasifah berisi bantahan Al-Ghazali terhadap pendapat dan pemikiran para filsuf, dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
5. Faishal At-Tafriqah Bayn al-Islam Wa Zanadiqah.
Bidang Usul Fikih, Fikih, Filsafat, dan Tasawuf
1. Al-Mustashfa Min Ilmi al-Ushul
2. Mahakun Nadzar
3. Mi’yar al’Ilmi
4. Ma’arif al-`Aqliyah
5. Misykat al-Anwar
6. Al-Maqshad Al-Asna Fi Syarhi Asma Allah Al-Husna
7. Mizan al-Amal
8. Al-Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi
9. Al-Ajwibah Al-Ghazaliyah Fi al-Masa1il Ukhrawiyah
10. Ma’arij al-Qudsi fi Madariji Ma’rifati An-Nafsi
11. Qanun At-Ta’wil
12. Fadhaih Al-Bathiniyah
13. Al-Qisthas Al-Mustaqim
14. Iljam al-Awam ‘An ‘Ilmi al-Kalam
15. Raudhah ath-Thalibin Wa Umdah al-Salikin
16. Ar-Risalah Al-Laduniyah
17. Ihya` Ulum al-din
18. Al-Munqidzu Min adl-Dlalal
19.Al-Wasith
20. Al-Basith
21. Al-Wajiz
22. Al-Khulashah
23. Minhaj al-’Abidin
Masih banyak lagi karya Imam Al-Ghazali. Begitu banyak karya yang dihasilkan, menunjukkan keluasan ilmu yang dimiliki oleh Al-Ghazali. Ia merupakan pakar dan ahli dalam bidang fikih, namun menguasai juga tasawuf, filsafat, dan ilmu kalam. Sejumlah pihak memberikan gelar padanya sebagai seorang Hujjah al-Islam.
Karya Imam Al-Ghazali yang sangat terkenal di dunia adalah kitab Ihya` Ulum al-din. Kitab ini merupakan magnum opus atau masterpiece Al-Ghazali. Bahkan, kitab ini telah menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia dalam mempelajari ilmu tasawuf. Di dalamnya, dijelaskan tentang jalan seorang hamba untuk menuju ke hadirat Allah.
      C . Kritik Al-Ghazali Terhadap Para Filosof
Filsafat yunani betul betul telah tersebar di zaman al-ghazali, sampai hampir menggoncang iman. Para cendikiawan menerimanya tanpa menyeleksi, mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan. Karena kekaguman mereka yang berlebihan terhadap filsafat yunani yang atheis itu, mereka mengekor padanya sampai pada tingkat keingkaran dan kekufuran. Filsafat yunani begitu menarik bagi para cendikiawan muslim, sehingga mereka hanya mentransfer dan bertaqlid buta. Melihat kondisi ini al-ghazali bertekat mempelajari dan mendalami filsafat untuk dapat mengkritik secara bijaksana dan ilmiah[4]
Diantara kitab-kitab yang sangat popular dalam dunia filsafat islam, bahkan dalam lingkungan filsafat Kristen di zaman pertengahan adalah Tahafut Falasifah. Dari segi logat, tahafut berarti keguguran dan kelemahan. Yang dimaksudkan ialah bahwa para filosof telah jatuh mati akibat tikaman maut yang diarahkan oleh al-ghazali terhadap pemikiran mereka. Pada hakikatnya, tikaman itu memang mematikan, mengenai inti masalah, sehingga ilmu filsafat tidak lagi muncul sesudah itu (di dunia Islam), walau ada upaya mati-matian dari ibnu rusdy untuk mempertahankannya.[5]
Al-Ghazali adalah orang pertama-tama mendalami filsafat dan yang sanggup mengeritiknya pula. Hasil peninjauan terhadap filsafat dibukukannya dalam bukunya maqasid al-falasifah  dan tahafut al-falasifah.
Buku maqasid al falasifah berisi tiga persoalan filsafat, yaitu logika, ketuhanan dan fisika yang diuraikanya dengan sejujurnya, seolah-olah dia seorang filosof yang menulis tentang kefilsafatan. Sesudah itu, ia menulis buku berikutnya, yaitu tahafut al falasifah dimana ia bertindak bukan sebagai filosof, melainkan sebagai seorang tokoh Islam yang hendak mengeritik filsafat dan menunjukkan kelemahan-kelemahan serta kejanggalan-kejanggalannya, yaitu dalam hal yang berlawanan dengan agama.
Menurut al-ghazali, lapangan filsafat ada enam, yaitu :matematika,logika,fisika, metafisika (ketuhanan), politik, dan etika. Hubungan lapangan-lapangan tersebut terhadap agama tidak sama; ada yang tidak berlawanan sama sekali dengan agama, dan ada pula yang sangat berlawanan dengan agama.
Menurut  al-ghazali, agama tidak melarang atau memerintahkan ilmu matematika (ilmu pasti), karena ilmu ini adalah hasil pembuktian pikiran yang tidak bisa diingkari sesedah dipahami dan diketahui. Tetapi ilmu tersebut menimbulkan dua keberatan, pertama, karena kebenaran dan ketelitian ilmu matematika, maka boleh jadi ada orang yang mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula keadaannya bahkan sampai pada lapangan ketuhanan. Kedua, sikap yang timbul dari pemeluk islam yang bodoh, yaitu menduga bahwa un tuk menegakkan agama harus mengingkari semua ilmu yang berasal dari filosof-filosof, dan mengatakan bahwa mereka bodoh semua, sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga harus diingkari dan dianggap berlawanan dengan syara’
      Lapangan logika menurut al-ghazali juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama, atau dengan perkataan lain, agama tidak memerintahkan atau melarang logika. Logika berisi penyelidikan tentang dalil-dalil( alasan-alasan) pembuktian, kias-kias (syllogisme), syarat-syarat pembuktian (burhan) definisi-definisi dan sebagainya. Semua persoalan ini tidak perlu diingkari, sebab masih sejenis dengan yang dipakai oleh ulama-ulama theology islam, meskipun kadang-kadang berbeda istilah dan kata-katanya. Bahaya yang di timbulkan oleh logika dan filosof-filosof, ialah karena syarat-syarat pembuktian bisa menimbulkan keyakinan, maka syarat-syarat pembuktian tersebut juga mendahului dalam soal-soal ketuhanan (metafisika), sedangkan sebenarnya tidak demikian.
      Ilmu fisika, menurut al-ghazali membicarakan tentang planet-planet, unsur-unsur (benda-benda)) tunggal, seperti air, hawa, tanah dan api; kemudian benda-benda tersusun seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, logam sebab-sebab perubahannya dan pelarutannya. Pembahasan tersebut sejenis dengan pembahasan lapangan kedokteran,  yaitu  menyelidiki tubuh orang, anggota-anggota badannya dan reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalamnya. Sebagaimana untuk agama tidak disyaratkan tidak mengingkari ilmu kedokteran, maka demikian pula ilmu fisika juga tidak perlu diingkari, kecuali dalam beberapa hal yang disebutkan dalam buku tahafut al falasifah, yang dapat disimpulkan bahwa alam semesta ini di kuasai (tunduk)  kepada tuhan, tidak bekerja dengan diinya sendiri, tetapi bekerja karena tuhan,Zat penciptanya.
      Lapangan ketuhanan (metafisika) menurut al-ghazali, banyak sekali berisi kesalahan filosof-filosof. Mereka tidak bisa mengadakan ketelitian dalam lapangan ketuhanan, sebagaimana yang telah diadakan oleh mereka dalam lapanganlogika, dan oleh karena itu perbedaan pendapat mereka dalam lapangan tersebut banyak sekali. Diantara tokoh yunani yang mendekati filosof-filosof islam, seperti yang dinukil oleh al-farabi dan ibnu sina ialah aristoteles. Kesalahan kesalahan mereka dalam lapangan tersebut ada 20 soal; dan dalam 17 diantaranya mereka harus dinyatakan sebagai orang bidat, sedang dalam tiga soal selebihnya, mereka dinyatakan sebagai ateis (kafir), karena fikiran-fikiran mereka dalam tiga soal tersebut berlawanan dengan pendirian semua kaum muslimin.
      Dalam lapangan politik, menurut al-ghazali, semua kata-kata para filosof berkisar pada suatu soal saja, yaitu hikmat kebijaksanaan yang bertalian dengan soal-soal dan kekuasaan duniawi.
      Dalam segi moral (akhlak) perkataan mereka berkisar pada sifat jiwa, macam macamnya dan cara menghadapinya.[6]
            masalah dua puluh macam tersebut dapat di bagi sebagai berikut:
  1. hubungan allah dengan alam. Hal ini meliputi empat masalah yang pertama:
a)      kadimnya alam,
b)      keabadian alam dan zaman
c)      allah pencipta dan pembuat alam, dan
d)     ketidak mampuan membuktikan adanya pembuat alam
  1. keesaan dan ketidak mampuan membuktikannya (masalah kelima)
  2. sifat sifat ilahi (masalah ke enam sampai dengan dua belas)
  3. mengetahui hal-hal kecil “juz iyah” (masalah ke tigabelas)
  4. masalah falaq dan alam (masalah keempat belas sampai keenam belas)
  5. sebab akibat (masalah ketujuh belas)
  6. jiwa manusia (masalah kedelapan belas dan sembilan belas)
  7. kebangkitan jasad pada hari akhirat ( masalah kedua puluh)[7]
Tiga pikiran filsafat metafisika yang menurut al-ghazali sangat berlawanan dengan islam, dan oleh karenanya para filosof harus dinyatakan sebagai orang atheis ialah: qadimnya alam, tidak mengetahuinya tuhan terhadap soal-soal peristiwa kecil, dan pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
a.      Qadimnya alam
Filosof mengatakan bahwa alam ini qadim. Qadimnya tuhan atas alam sama dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (sebab atas akibatnya) yaitu dari segi zat dan tingkatan, bukan dari segi zaman. Alasannya adalah tidak mungkin wujud yang hadis (baru), yaitu alam, keluar dari qadim (tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim tersebut sudah ada sedang alam belum lagi ada.
Tentang mengapa alam belum wujud, maka hal ini disebabkan pada waktu itu hal hal yang menyebabkan wujudnya belum ada. Jadi pada waktu tersebut ala mini baru merupakan suatu kemungkinan murni artinya bisa wujud bisa tidak.
Sesudah wahyu itu datang, maka ala mini menjadi wujud, dan wujud ini disebabkan karena factor-faktor yang menyebabkan wujudnya. Tetapi timbul pertanyaan mengapa factor-faktor tersebut baru timbul pada waktu ini dan tidak timbul sebelumnya. Kalau dikatakan tuha mula-mula tidak berkuasa mengadakan alam, kemudian menjadi kuasa untuk mengadakannya, maka timbul pula pertanyaan, mengapa kekuasaan ini baru timbul pada masa tersebut bukan pada masa sebelumnya. Atau kalau dikatakan tuhan sebelumnya tidak mempunyai tujuan  bagi wujudnya alam, kemudian maksud ini timbul, maka pertanyaan yang muncul juga sama, yaitu mengapa tujuan itu timbul. Atau kalau dikatakan tuhan mula-mula tidak menghendaki adanya, maka timbul pertanyaan mengapa kehendak tersebut timbul dan dimana pula timbulnya,apakah pada zatnya atau pada selain zatnya .
Jawaban al-ghazali: apa keberatannya kalau dikatakan bahwa iradat (kehendak tuhan) yang qadim itu menghendaki wujud alam pada waktu diwujudkannya.
Boleh jadi timbul pertanyaan, kalau yang dimaksud dengan iradah yang qadim itu seperti niat kita untuk mengadakan suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut tidak mungkin terlambat, kecuali karena ada halangan, sedangkan bagi tuhan sebagai zat yang mengadakan pembuatan, sudah lengkap syarat-syaratnya dan tidak ada hal yang perlu dinantikan lagi,tetapi perbuatannya terlambat juga.
Jawab al-ghazali ialah, bahwa perkataan tersebut tidak lebih kuat dari pada perkataan mereka yang mempercayai kebaruan alam karena kehendak yang qadim.
Timbul pula pertanyaan lain yaitu bahwa nilai semua waktu dalam pertaliannya dengan kehendak adalah sama, tetapi mengapa satu waktu dipilih untuk mewujudkan alam, dan waktu yang sebelumnya atau sesudahnya tidak dipilih?
Jawab alghazali ialah, bahwa arti kehendak ialah yang memungkinkan untuk membedakan sesuatu dari lainnya. Kehendak tuhan adalah mutlaq, artinya bisa memilih suatu waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa ditanya sebabnya, karena sebab tersebut adalah kehendak-Nya itu sendiri. Kalau masih ditanya sebabnya, maka artinya kehendak tuhan itu terbatas tidak lagi bebas; sedangkan kehendak itu bersifat bebas dan mutlaq[8].
b.      Ilmu Tuhan Terhadap  Hal-Hal/Peristiwa Kecil
Golongan filosof berpendirian bahwa tuhan tidak mengetahui hal-hal kecil, kecuali dengan cara yang umum. Alasannya mereka adalah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti kepada yang diketahui atau dengan perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu, atau sebaliknya, berarti tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan zat tuhan tidak mungkin terjadi.
Menurut al-Ghazali: ilmu adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari pada zatnya. Pendapat ini berbeda dengan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa sifat-sifat tuhan adalah juga zat-Nya, yang berarti tidak ada pemisahan antara keduanya, atau mereka tidak mengenal istilah tambahan seperti yang dikenalkan oleh al-ghazali.
Menurut alghazali  Kalau terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat tuhan tetap pada keadaan yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada orang berdiri di sebelah kanan kita, kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita.
Lagi pula kalau perubahan ilmu bisa menimbulkan sesuatu perubahan pada zat yang mengetahui, sebagai mana yang di pegangi oleh golongan filosof, maka apakah mereka akan mengatakan bahwa berbilangnya ilmu juga menimbulkan bilangan pada zat tuhan[9].
c.       Kebangkitan Jasmani
Menurut tinjauan filosof-filosof dari segi pikiran, alam akhirat adalah alam kerohanian, bukan alam materiil (alam kebendaan), karena perkara kerohanian itu lebih tinggi nilainya. Karena itu menurut mereka, pikiran tidak mengharuskan adanya kebangkitan jasmani, kelezatan atau siksaan jasmani, surga atau neraka serta segala isinya. Kesemuanya itu memang disebut dalam alquran, tetapi dengan maksud untuk memudahkan pemahaman terhadap alam kerohanian bagi orang-orang biasa. Keunggulan alam kerohanian sebenarnya juga berlaku dalam dunia ini, yang didasarkan pada kekuatan berfikir dan kelezatan mendapatkan obyek-obyek pikiran. Tetapi hal itu tidak bisa dicapai disebabkan karena kesibukan-kesibukan benda, dan baru dicpai di akhirat nanti, dimana kesibukan-kesibukan benda ini tidak lagi menjadi penghalangnya.
Agar sesuai dengan suasana kerohanian, maka kebangkitan di akhirat nanti bersifat rohani pula. Jadi kebangkitan jasmani yang berarti badan kita akan dikembalikan lagi tidak perlu terjadi.
Jawaban al-ghazali mengatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan), karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Pendirian trsebut tidak berlawanan dengan syara’ bahkan di tunjukkan seperti yang disebutkan dalam alquran surat Ali Imran “ janganlah engkau kira bahwa mereka yang terbunuh pada jalan allah itu mati, bahkan mereka itu hidup disisi tuhannya mendapat rizki dan gembira
Kemudian adanya nash-nash lain yang menyatakan adanya kebangkitan, yaitu kebangkitan badan. Kebangkitan ini adalah suatu hal yang mungkin yaitu dengan jalan mengembalikan jiwa kepada badan, badan apapun juga,baik dari bahan badan yang pertama atau bahan lainnya, atau bahan badan yang baru dijadikan sama sekali. Karena manusia disebut manusia karena jiwanya, bukan karena badannya. Bagian-bagian badan manusia dapat berganti-ganti  dari kecil menjadi besar, karena kurus atau gemuk, atau karena pergantian makanan namun ia tetap manusia juga.
Tuhan telah dapat membuat dari sperma yang ada di rahim wanita, anggota-anggota badan yang bermacam-macam,berupa daging,urat syaraf,tulang,mata, lidah, gigi dan sebagainya yang semuanya ini berbeda  keadaan sifat dan fungsinya, meskipun saling berdekatan dan berhubungan satu sama lain. Apakah tuhan yang demikian kekuasaan-Nya tidak sanggup membuat manusia yang sempurna dari tulang belulang yang sudah rusak.[10]





BAB III
KESIMPULAN
Menurut al-ghazali, lapangan filsafat ada enam, yaitu :matematika,logika,fisika, metafisika (ketuhanan), politik, dan etika. Hubungan lapangan-lapangan tersebut terhadap agama tidak sama; ada yang tidak berlawanan sama sekali dengan agama, dan ada pula yang sangat berlawanan dengan agama.
Menurut  al-ghazali, agama tidak melarang atau memerintahkan ilmu matematika (ilmu pasti), karena ilmu ini adalah hasil pembuktian pikiran yang tidak bisa diingkari sesedah dipahami dan diketahui. Tetapi ilmu tersebut menimbulkan dua keberatan, pertama, karena kebenaran dan ketelitian ilmu matematika, maka boleh jadi ada orang yang mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula keadaannya bahkan sampai pada lapangan ketuhanan. Kedua, sikap yang timbul dari pemeluk islam yang bodoh, yaitu menduga bahwa untuk menegakkan agama harus mengingkari semua ilmu yang berasal dari filosof-filosof, dan mengatakan bahwa mereka bodoh semua, sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga harus diingkari dan dianggap berlawanan dengan syara
      Isi pokok mengenai kecaman al ghazali terhadap tiga persoalan itu adalah sebagai berikut pertama tentang qadimnya alam, menurut al ghazali pendapat ini membwa kepada keyakinan akan adanya yang qadim selain tuhan, atau berarti mbanyak yang qadim, sedang dalam islam yang qadim hanya satu yaitu tuhan. Kedua tuhan tidak mengetahui perincian yang etrjadi di alam, menurut al ghazali pendapat ini akan menyesatkan umat islam karena paham ini membawa kepada pengingkaran sifat kemahatahuan tuhan. Ketiga tentang tidak adanya pembangkitan jasmani, yang abadi hanya ruh, sedangkan jasmani akan hancur dan tida kekal, alghazali berpendapat bahwa dalam alquran banyak ayat-ayat yang menyebutkan soal pembangkitan jasmanidengan gambaran yang bersifat materiil, sehingga meyakini tidak adanya pembangkitan jasmani berarti menolak ayat ayat yang menyatakan adanya pembangkitan jasmani.




DAFTAR PUSTAKA

Asmuni.Yusron.1996, Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Busthami.M.Said, 1992. Pembaharu Dan Pembaharuan Dalam Islam. Ponorogo: Pusat Studi Ilmu dan Amal (PSIA)
Tim penyusun, 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Houve
Hanafi, Ahmad.1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang 
Daudy, Ahmad,1984. Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam.Jakarta: Bulan Bintang


[1] Lihat tim penyusun, 1994,ensiklopedi islam hal 26
[2] Lihat   hanafi, ahmad.1990. pengantar filsafat islam. Hal 135
[3] Lihat asmuni.yusron.1996,dirasah islamiyah II hal 134
[4] Lihat busthami.M.Said, 1992. pembaharu dan pembaharuan dalam islam hal 78-79
[5] Lihat daudy, ahmad,1984.segi-segi pemikiran falsafi dalam islam.hal 57

[6] Lihat hanafi, ahmad hal 143-144
[7] Lihat Daudy, ahmad hal 66
[8] Lihat hanafi, ahmad hal 144-146
[9] Ibid hal 148-149
[10] Ibid hal. 150-152