KELUARGA BESAR ANGKATAN V PASCA SARJANA UIN JEMBER (FORUM BEBAS CORAT CORET YANG PENTING ILMIAH)
NUWUN SEWU
- Manshur Musthofa
- banyuwangi, jawa timur, Indonesia
- Kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni,kena takon ning aja ngrusuhi
Rabu, 29 Februari 2012
TEORI DASAR STUDY ISLAM
BY: MANSHUR MUSTHOFA
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Ibarat spektrum cahaya, Islam itu terpancar menjadi
beragam dimensi. Semua dimensi itu pada hakikatnya adalah satu yaitu Islam. Tidak
semua muslim mampu menangkap seluruh dimensi yang dipancarkan oleh islam.
Setiap muslim hanya mampu menangkap dimensi dimensi tertentu, sesuai dengan
kemampuan daya tangkap dan visinya
masing-masing.
Studi Islam bukanlah tumbuh dan berkembang dari
realitas historis yang hampa, ia hadir secara kronoligis dalam konteks ruang
dan waktu yang jelas, hal ini terjadi sebagai respon sejarah atas sejumlah
persoalan keagamaan yang dialami umat Islam.
Selanjutnya studi Islam juga merupakan bagian dari sebuah
kajian keislaman dengan wilayah telaah materi ajaran agama dan fenomena
kehidupan beragama. Pendekatan yang dilakukan biasanya melalui berbagai
disiplin keilmuan, baik yang bersifat dokrinal-normative maupun histories–empiris.
Secara metodologis kedua pendekatan tersebut merupakan elemen yang sangat
penting dalam kajian keislaman semisal pendekatan tentang Islam dalam konteks
normative keagamaan yang harus dijangkau oleh kaum muslimin dengan pendekatan
tentang Islam yang merupakan lapangan kajian.
- Pokok Masalah
Dari latar belakang di atas maka dalam makalah ini
akan disajikan beberapa pokok permasalahan yang perlu diketahui dalam konteks
kajian studi Islam, adapun pokok
masalahnya adalah sebagai berikut:
1.
Definisi studi Islam.
2.
Pokok-pokok ajaran Islam sebagai dasar
studi Islam.
3.
Urgensi dan Signifikansi studi Islam
A.
Islam Sebagai Pengertian Yang
Sebenarnya
Islam adalah agama yang ajaran-ajaranya diwahyukan
Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Islam pada
hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi tetapi
mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia, sumber dari ajaran-ajaran yang
mengambil aspek itu adalah Al-Qur’an dan hadits (Harun Nasution, 1985: 24).
Ajaran yang terpenting dari Islam adalah Tauhid yakni
pengakuan tentang adanya Tuhan Yang Maha
Esa. Hal ini juga menjadi dasar kerasulan, wahyu, soal musyrik dan
kafir, hubungan makhluk, surga neraka dan sebagainya yang mana kesemuanya ini
dibahas dalam ilmu tauhid atau dalam istilah baratnya disebut Teologi.
Aspek Teologi merupakan aspek yang paling penting sebagai dasar bagi Islam.
Salah satu ajaran dasar lain dalam agama Islam adalah bahwa
manusia yang tersusun dari badan dan roh itu berasal dari Tuhan dan akan
kembali ke Tuhan. Tuhan adalah suci dan roh yang datang dari Tuhan juga suci kalau
ia menjadi kotor dengan masuknya ia ke dalam tubuh manusia yang bersifat materi,
ia tidak akan dapat kembali ke tempat asalnya. Oleh karena itu harus diusahakan
supaya roh tetap suci dan manusia menjadi baik.
1.
Pengertian Studi Islam
Secara etimologi studi Islam merupakan terjemahan dari
bahasa arab Dirasah Islamiyah sedangkan dalam kajian Islam di barat di
sebut Islamic studies yang mempunyai arti kajian tentang hal-hal yang
berkaitan dengan keislaman, sedangkan pengertian studi Islam secara
terminologis adalah kajian secara sistematis dan terpadu untuk memahami dan menganalisis
secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam baik yang menyangkut
sumber-sumber ajaran Islam, pokok ajaran Islam, sejarah Islam maupun realitas
pelaksanaanya dalam kehidupan (IAIN Press, 2002: 1).
Sedangkan menurut Abudin Nata yang dimaksud dengan
studi Islam adalah pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang
dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia (2009: 152).
Selanjutnya Masdar Hilmy didalam bukunya Studi Islam
juga menerangkan bahwa studi Islam (Islamologi) merupakan sebuah kajian yang mempelajari
Islam hanya sebatas Islam sebagai ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini, Islam
dikaji bukan untuk dipraktikkan dalam tataran normativitas melainkan hanya
didorong oleh tuntutan profesionalisme kajian keislaman. (Masdar Hilmy,2005:
28).
Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa studi
Islam merupakan sebuah kajian keislaman yang dirumuskan berdasarkan sumber
ajaran Islam dan pokok ajaran Islam dalam tataran historisitas-empiris dan
dipraktekkan dalam kehidupan manusia. Maka dari itu konsep dasar studi Islam
mengacu pada pokok-pokok ajaran Islam dalam benteng sumber ajaran Islam.
B. Pokok-Pokok Ajaran Islam Sebagai Dasar Studi
Islam
1. Akidah Sebagai Dasar Studi Islam
Akidah berasal dari bahasa Arab “aqada-ya’qidu-‘aqdan”
yang artinya mengikat. Secara etimologi akidah bisa diartikan sebagai keimanan
atau keyakinan, sedangkan secara terminologi akidah adalah ikatan hati
seseorang kepada sesuatu yang diyakini dan diimaninya dan ikatan tersebut tidak
boleh dilepaskan selama hidupnya (IAIN Press, 2002: 71).
Dengan demikian akidah merupakan sisi teoritis yang
pertama kali harus diimani atau diyakini dengan keyakinan yang mantap tanpa
keraguan sedikitpun. Terlebih hal ini dibuktikan dengan banyaknya nash-nash
Al-Qur’an maupun hadits mutawatir yang secara eksplisit menjelaskan persoalan
ini (enam rukun iman), disamping adanya dakwah-dakwah para ulama’ sejak pertama
kali ajaran Islam di dakwahkan oleh Rasulullah. Dan perkara itulah yang menjadi
inti ajaran Allah kepada para rasul sebelumnya.
Dalam hakikat dan maknanya, tauhid atau akidah berdiri
diatas tiga kriteria yang talazum (simbiosis mutualisme), satu sama lain tak
terpisahkan.terjadinya kesenjangan pada salah satu sendi diatas akan
mengakibatkan kefatalan pada bagian yg lain, ketiga kriteria tersebut adalah
(1) tauhid rububiyah, (2) tauhid uluhiyah, dan (3) tauhid hakimiyah. (daud
rasyid, 1998:18)
Tauhid rububiyah adalah melekatnya semua sifat sifat
ta’tsir(yang mengandung unsur dominasi atau pengaruh) pada allah SWT, umpamanya
sifat pencipta, pemberi rizki,pengatur alam, yang menghidupkan, yang
mematian,pemberi petunjuk dan sebagainya. Dari sini dapat diketahui bahwa makna
rububiyah beserta segala konsekwensinya, tidak mungkin dimiliki secara sempurna
dan hakiki oleh siapa pun, selain dari Allah SWT. dariNYA bersumber wujud
(keberadaan) dan segala sifat sifat yang sesuai dengan kedudukannya sebagai
mahluk.
Tauhid uluhiyah adalah bahwa hanya allah semata-mata
yang berhak diperlakukan sebagai tempat khudhu’(tunduk merendah)oleh hambanya
dalam beribadah dan taat. Dengan kata lain, tak ada yang berhak dipatuhi secara mutlaq selain allah SWT. Semua manusia
adalah hamba allah, hamba yang betul betul berlaku dan berpenampilan sebagai
hamba. Bukan hamba yang berlagak sebagai raja. Manusia tidak berhak meperbudak
manusia lainnya dengan alasan apapun
Tauhid al-hakimiyah yang mengandung arti hanya allah
lah yang berhak membuat ketentuan,peraturan, dan hukum. Setiap muslim
berkeharusan menaati perintah dan larangan allah.(daud rasyid,1998:17-22)
2.
Syari’ah Sebagai Dasar Studi Islam
Kata syari’ah berarti jalan tempat keluarnya air untuk
minum, kemudian bangsa Arab pada waktu itu menggunakan kata ini untuk konotasi jalan
lurus. Sehingga ketika dipakai dalam pembahasan hukum maka syari’ah ini
mempunyai makna segala sesuatu yang di syari’atkan Allah kepada hamba-hambanya
sebagai jalan yang lurus untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
(IAIN Press, 2002: 101).
Selanjutnya Mahmud Shaltout memberikan pengertian yang
jelas mengenai syari’ah yakni ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah atau
hasil pemahaman atas dasar ketentuan tersebut untuk dijadikan pegangan oleh
umat manusia baik hubungan dengan Tuhan, dengan manusia lain, dengan alam dan
dalam menata kehidupan yang lain.
Aspek hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan di sebut ibadah, Aspek hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia, hubungan manusia dengan alam dan lingkungan disebut muamalah.
Selanjutnya disiplin ilmu yang membahas masalah syari’ah adalah Fiqh.( IAIN
Press, 2002:102).
3.
Akhlak Sebagai Dasar Studi Islam
Secara etimologi kata akhlak mempunyai arti budi
pekerti, peringai, tingkah laku atau tabiat. Sedangkan secara terminologi banyak
pakar yang mencoba mendefinisikan akhlak salah satunya adalah Al-Ghazali.
Akhlah menurut Al-Ghazali adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan. (IAIN Press, 2002: 103).
Dengan demikian akhlak merupakan sifat yang tertanam
dalam jiwa manusia dan ia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan tanpa
memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu serta tidak memerlukan
adanya dorongan dari luar dirinya.
Dari ketiga pokok ajaran Islam di atas baik itu
akidah, syari’ah dan akhlak merupakan dasar bagi pemikiran studi Islam yang melakukan
kajian Ilmiah terhadap Islam. Pada
umumnya Apabila konteks ajaran itu bersifat doktrinal normative maka ajaran itu dibangun, diramu, dibakukan, dan
ditelaah lewat pendekatan doctrinal-teologis, sedang Apabila konteks
ajaran itu bersifat historis-empiris
maka studi Islam mempunyai peran untuk mengkaji konteks ajaran Islam
ini secara paripurna, ditelaah lewat
berbagai sudut pendekatan keilmuan social-keagamaan yang bersifat multi dan
interdisipliner, baik lewat pendekatan histories, filosofis, psikologis,
sosiologis, cultural maupun antropologis dengan mempertemukan dengan
nilai agama yang bersumber pada wahyu maupun hadits.
Dengan demikian studi Islam dapat mempertegas dan
memperjelas wilayah agama yang tidak bisa dianalisis dengan kajian empiris yang
kebenaraanya bersifat relatif maupun sebaliknya terus melakukan kajian studi
keislaman dalam tataran historisitas dengan tujuan menjadikan Islam sebagai agama
yang menjadi sasaran studi, baik itu dalam segi doktrinal, sosial dan budaya
demi mendapatkan kajian keislaman yang aktual.
Sumber akhlak adalah yang menjadi ukuran baik dan
buruk atau mulia dan tercela.sebagaimana karakteristik keseluruhan ajaran
islam, maka sumber islam adalah alquran dan hadist dan bukan akal pikiran atau
pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral.
C.Maksud Dan Tujuan Studi Islam
Merujuk pada sejarah Peradaban Islam untuk dapat
menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam normativitas Islam yakni dengan
mengadakan studi terhadap Islam maka dinamika histories yang menjadi perwujudan
dari ide – ide Islam mulai dari permulaan diturunkannya Islam hingga masa akhir
akhir ini baik diwilayah yang menjadi tempat turunnya Islam maupun di wilayah-wilayah
lain di berbagai belahan dunia menjadi sangat penting untuk dikaji baik itu
dalam lingkungan majlis Ta’lim maupun lingkungan civitas akademika.
Studi ini bisa dilakukan melalui perangkat
historis-kultural Yang mana dalam konteks ini menemukan signifikasinya
sebagaimana dijelaskan melalui beberapa hal, pertama, pentingnya studi dilakukan sebagai bentuk pemenuhan
terhadap motivasi imperative agama untuk meneladani rosul. Kedua, signifikansi dilakukannya studi Islam sebagai alat untuk
menafsirkan dan memahami maksud teks-teks suci Al-qur’an . Hal ini karena memahami
maksud teks tersebut harus lebih dulu memahami latar belakang sejarah turunnya,
atau dalam bahasa teknis agama disebut dengan asbab al-nuzul. Ketiga, studi tersebut penting untuk
mengetahui proses dialogis antara normativitas Islam dengan nilai nilai historisitas
yang melingkupinya dalam praktis Islam di tengah tengah masyarakat. Hal ini
karena pada tataran historis-empiris,
agama ternyata juga sarat dengan berbagai “kepentingan” social kemasyarakatan
yang rumit untuk dipisahkan. Keempat, signifikansi
dilakukannya kajian histories ini agar nilai perkembangan historis dapat
dipergunakan sebagai pertimbangan untuk merekonsruksi disiplin disiplin studi
Islam bagi kepentingan masa depan.
Dengan demikian, nilai positif dari kajian studi Islam
ini implikasinya sangat jauh, meliputi kerangka teoritis maupun praktis
sehingga kemudian menjadikan keterbukaan terhadap kajian keislaman dan mampu melahirkan berbagai disiplin Ilmu
baik itu sosiologi, antropologi, filsafat, sejarah, ilmu bahasa dan sebagainya.
- Urgensi Dan Signifikansi Studi Islam
Agama adalah ibarat manusia untuk mengetahui perihal
manusia yang lain dan bisa dilakukan dengan dua cara : pertama, membaca
ide dan pemikiran yang bersangkutan yang tertuang dalam berbagai karangan,
pernyataan dan pekerjaannya, serta kedua, mempelajari biografi kehidupannya.
Untuk mengenal agama, harus dilakukan dengan cara mempelajari ide-idenya serta
membaca biografinya. Menurut Mukti Ali yang dikutip masdar Hilmy (2005: 20)
ide-ide agama terpusat pada kitab sucinya, sedangkan biografi agama dapat
ditemukan melalui sejarah yang dialaminya.
Dalam konteks Islam, untuk memahami agama bisa
dilakukan penelitian atau studi dengan menggunakan 2 metode pertama mempelajari
teks-teks suci Al-Qur’an yang merupakan himpunan dari ide dan out put
ilmiah serta literature yang dikenal dalam Islam, kedua mempelajari dinamika
histories yang menjadi perwujudan dari ide-ide Islam, mulai dari permulaaan
diturunkannya misi Islam terutama masa Nabi Muhammad SAW hingga masa akhir ini.
Islam yang telah mengalami proses dialogis dengan masyarkat tidak bisa dihindarkan dari
munculnya beragam wajah sebagai gambarannya. Keberagaman itu timbul karena
persoalan ruang dan waktu. Perbedaaan ruang dan waktu itu melahirkan perbedaan
pemahaman oleh masyarakat bersangkutan
sesuai dengan setting yang mereka hadapi, baik berupa tuntutan maupun tantangan
salah satu contoh Islam yang ada di Indonesia berbeda dengan di timur tengah
baik pada tataran kognitif maupun praktis social.
Atas dasar permasalahan diatas maka sangat urgen
diperolehnya pemahaman Islam secara utuh dan tidak distortif.
Argumentasinya adalah bahwa realitas perbedaan diatas bila tidak didekati
secara tepat akan menimbulkan pemahaman yang pincang tehadap Islam karena Islam
sebagai agama mempunyai dimensi normatif dan histories. Oleh karena itu dalam
kaitan ini, memahmi ide-ide Islam yang ada dalam Al-Qur’an urgen sekali
dilakukan. Hal ini tampak dari argumentasi bahwa ide-ide dalam kitab suci
tersebut merupakan dasar normative dan pondasi dari ajaran-ajaran Islam yang
ditawarkan kepada manusia. Al-Qur’an memegang landasan moral bagi
gagasan-gagasan dalam praktek seperti ekonomi, politik dan social di
tengah-tengah kehidupan manusia. Meski Al-Qur’an meliputi ide-ide normative
Islam, teks-teksnya di turunkan kepada Nabi Muhammad saw tidak hanya dalam
bentuk idenya semata, melainkan juga disampaikan secara verbal.
Pentingnya dilakukan studi terhadap ide-ide normatif
Islam yang terhimpun dalam Al-Qur’an ini agar diperoleh pemahaman normative
doctrinal yang cukup terhadap sumber dari teks suci Islam untuk menunjang
pemahaman yang kontekstual – histories
sehingga didapatkan pandangan yang relative utuh terhadap Islam dengan berbagai
atributnya. Hal yang demikian ini untuk menghindari terjadinya proses distorsi
dan reduksi terhadap makna substantif Islam dan sekaligus kesalahan dalam
mengambil kesimpulan tentangnya.
Kesalahan dan kegagalan para Ilmuwan Barat dalam
mamahami masyarakat Muslim bukan terletak pada “Perspektif tentang kebenaran” yang berbeda, melainkan karena ketidaktahuan dan ketidak akuratan
dalam memahami masyarakat Muslim. Itulah salah satu diantara penyebab
ketidakakuratan adalah kurang diperankanya teks-teks normative Islam dalam
kajian masing-masing sebagai landasan normative untuk melihat historisitas
Islam.
Untuk dapat
menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam normativitas Islam perlu dilakukan
studi terhadap dinamika histories yang menjadi perwujudan dari ide – ide Islam,
mulai dari permulaan diturunkannya Islam hingga masa akhir akhir ini baik
diwilayah yang menjadi tempat turunnya Islam maupun di wilayah wilayah lain di
berbagai belahan dunia.
Untuk menggambarkan
secara numerik dalam kerangka besar urgensi dan signifikansi studi Islam
seperti tersebut diatas, maka menurut masdar Hilmy (2005: 24-27) dapat
diuraikan sebagai berikut :
a.
Studi Islam diarahkan sebagai instrument
untuk memahami dan mengetahui proses
sentrifugal dan sentripetal dari Islam dan masyarakat. Di dalam jantung tradisi
studi tadi, terdapat al-Qur’an yang dalam proses legalisasinya memiliki
kapasitas dan daya gerak keluar ( sentrifugal), merasuki dan berdialog dengan
berbagai asuhan budaya baru berusaha
mendapatkan legalisasi dan legitimasi.
b.
Sebagai konsekuensi poin pertama, studi
Islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam konteks untuk
memahami cara mendekati Islam, baik pada tataran realitas – empiric maupun
normative doktrinal secara utuh dan tuntas. Hal demikian agar pemahaman
terhadap Islam tidak pincang. Selama ini, beberapa ahli ilmu pengetahuan,
termasuk di dalamnya para orientalis,
mendekati Islam dengan metode Ilmiah saja. Akibatnya, penelitian mereka tidak bisa menjelaskan secara utuh obyek yang
diteliti karena yang mereka hasilkan melalui penelitian itu hanyalah
eksternalitas dari Islam semata.
c.
Studi Islam begerak dengan mengusung
kepentingan untuk memperoleh pemahaman yang signifikan terhadap persoalan
hubungan antara normativitas dan historisitas dalam rangka menangkap atau
memahami esensi atau substansi dari ajaran yang nota bene sudah terlembagakan
dalam bentuk aliran-aliran pemikiran (schools of thought).
d.
Studi Islam diselenggarakan untuk
menghindari pemahaman yang bersifat campur aduk, tidak dapat menunjukkan
distingsi antara wilayah agama dan wilayah tradisi atau budaya. Pencampuradukan
itu pada urutannya akan dapat memunculkan pemahaman yang distortif terhadap
konsep kebenaran, antara yang absolute dan relative.
BAB IV
PENUTUP
- Kesimpulan
Islam adalah agama yang ajaran-ajaranya diwahyukan
Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Islam pada
hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi tetapi
mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia, sumber dari ajaran-ajaran yang
mengambil aspek itu adalah Al-Qur’an dan hadits.
Pembagian studi tentang Islam memang harus dilakukan
karena untuk mengetahui informasi tentang kajian Islam yang harus dijangkau
oleh kaum muslimin dengan data dan informasi tentang Islam yang merupakan
lapangan kajian atau studi Islam yang dalam bahasan lain disebut Islamologi.
Islamologi mempelajari dan mengkaji Islam hanya
sebatas Islam sebagai ilmu pengetahuan.Dalam kaitan ini, Islam dikaji bukan
untuk dipraktikkan dalam tataran normativitas melainkan hanya didorong oleh
tuntutan profesionalisme kajian keislaman.
Dengan demikian, nilai positif dari kajian studi Islam
atau Islamologi ini implikasinya sangat jauh, meliputi kerangka teoritis maupun
praktis sehingga kemudian menjadikan keterbukaan terhadap kajian keislaman dan mampu melahirkan berbagai disiplin Ilmu
baik itu sosiologi, antropologi, filsafat, sejarah, ilmu bahasa, ilmu hukum dan sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur'an dan
Terjemahnya. Bandung : Diponegoro
Hilmy, Masdar,
MA, Muzakki, Akh, M.Ag, 2005, Studi Islam, Surabaya: Arkola
IAIN, Sunan
Ampel. 2002. Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN Press.
Mudzhar Attho’ H, M, Dr. 2004. Pendekatan Studi Islam (dalam teori dan praktek). Jakarta : Pustaka
Pelajar
Nasution, Harun.
1985. Islam Ditinjau dari Berbagai aspek. Jakarta: UI-Press
Nata, Abudin, Prof, Dr, 2009. Metodologi Studi
Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rasyid,Daud,DR,MA,1998.Islam Dalam Berbagai Dimensi:Gema
Insani Press.
PERAN SUPERVISOR DALAM MENGEVALUASI GURU
by: Manshur Musthofa
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Setiap manusia adalah unik maka tidak ada kondisi yang
sama antara guru yang satu dengan guru yang lainnya. Kondisi tersebut
diantaranya kemampuan umum, watak, bakat, dan kepribradian.
Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah. Dalam usaha
meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber
daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus menerus. Karena pengaruh
perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus menerus belajar
menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mobilitas masyarakat. Itulah sebabnya
ulasan mengenai perlunya supervisi
pendidikan itu bertolak dari keyakinan dasar bahwa guru adalah profesi.
Pada saat yang sama terdapat kesadaran diantara para
guru, administrator dan supervisor bahwa evaluasi kinerja dibidang apapun
adalah sulit. Subyek sensitive terhadap kesalahan kotor dan misjudgment. Tidak
ada aspek pengajaran dapat lebih mengancam untuk guru dari pada evaluasi
kinerja mereka. Tidak ada aspek administrasi yang lebih menyakitkan bagi
seorang administrator yang cermat yaitu mengevaluasi guru. Administrator yang
menegaskan bahwa mengevaluasi kinerja guru mudah, tidak mengancam dan rutinitas
serius meremehkan kompleksitas dan dampak dari penilaian guru. Administrator
dan bukti bukti sikap ini merupakan
salah satu yang telah lupa reaksinya
untuk evaluasi sebagai guru dan siapa yang tidak dikenakan sistematis,
evaluasi formal sebagai administrator.
Sementara guru perlu untuk mengembangkan sikap
menerima evaluasi sebagai sarana untuk memperbaiki diri dan profesi. System
sekolah harus menemukan cara-cara untuk mengevaluasi guru yang layak, adil,
manusiawi, dan seobjektif mungkin.
- Rumusan Masalah
Agar makalah ini dapat fokus dan tidak melenceng dari
tema, maka perlu rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
- Bagaimana peran supervisor dalam membantu guru mengevaluasi diri?
- Bagaimana Teknik supervisor dalam membantu guru mengevaluasi diri?
BAB
II
PEMBAHASAN
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, pembinaan
guru adalah hal yang tak terelakkan lagi, sebab guru adalah ‘dalang’ yang
menjadi titik tumpu keberhasilan dalam mengantarkan peserta didik menuju
kesuksesan dalam belajar. Perlu disadari bahwa guru merupakan sebuah profesi
dan oleh karenanya harus terus berkembang kearah yang lebih positif dan lebih
baik. Disinilah supervisi dianggap penting untuk dilakukan[1]
Salah satu prinsip dalam
supervisi adalah memberi kesempatan kepada supervisor dan guru-guru untuk mengadakan ‘’self
evaluation’. Hal ini dimaksudkan untuk memupuk kesadaran dari para guru agar
mau meningkatkan kualitasnya dalam menjalankan profesi. Selain itu evaluasi
juga dianggap sebagai proses untuk menetukan kualitas dari sesuatu atau sebuah
pekerjaan[2]
Dalam hal ini peran supervisor
sangat penting, mengingat tidak semua guru bersikap professional pada
profesinya. Namun demikian pelaksanaan supervisi harus tetap bijak dan
berpegang pada prinsip-prinsip supervisi.
Tulisan ini mencoba menampilkan
ulang konsep yang ditawarkan oleh Peter F oliva tentang peran supervisor dalam
membantu guru untuk melakukan evaluasi
pada dirinya. Dan agar dapat diambil nilai manfaat yang lebih berfungsi dicoba
untuk dielaborasi dengan konsep-konsep
dari buku lain sehhingga menghasilkan konklusi yang mudah diterapkan dalam
konteks kekinian dan keindonesiaan.
Ringkasan Konsep
Seorang guru sebagai ujung tombak pengajaran selalu
berhadapan dengan berbagai hal dimana dia tidak mungkin dapat menyelesaikan
masalah keseluruhannya tanpa mendapatkan bantuan dari pihak lain khususnya
kepala sekolah/supervisor. Guru selalu berhadapan dengan sesuatu yang selalu
berbeda dan berubah, seperti kondisi siswa, kurikulum, tuntutan orang
tua/masyarakat, kebutuhan hidupnya dan lain-lain. Dengan adanya pengawasan yang
dilakukan oleh pengawas/supervisor akan menambahkan semangat dan motivasi kerja
guru dengan cara memperbaiki segala jenis dan bentuk kekurangannya dalam proses
belajar mengajar.[3]
Guru kadang-kadang harus merasa bahwa mereka adalah
yang paling professional ditempat kerja dan ditempat tinggal mereka dan harus
menghindari perilaku yang dianggap merugikan. Karena kinerja mereka selalu
diperhatikan dan dinilai oleh siswa, guru-guru lain, pimpinan serta masyarakat
umum. Untuk itu seorang guru harus mau dievaluasi kinerjanya agar
profesionalisme seorang guru dapat
terjaga untuk memperbaiki diri.
Evaluasi guru terdiri dari dua komponen. Pertama, evaluasi
sumatif yaitu penilaian tahunan yang dilakukan oleh pimpinan. Hal ini tidak
hanya untuk perbaikan mutu pembelajaran, tetapi juga pada layanan prima
(misalnya keputusan, masa jabatan, jenjang karir dan honorarium) kedua, evaluasi
formatif, yaitu penilaian yang dilakukan oleh supervisor secara
berkesinambungan untuk mengetahui administrasi mengamati kelas dan melakukan
komunikasi dengan guru yang bertujuan membantu mereka meningkatkan hasil
pembelajaran.
Selain itu seorang guru harus dapat mengevaluasi
dengan buku, dimana guru mengevaluasi diri mereka sendiri dengan sarana yang
disediakan supervisor sehingga dapat membantu pelaksanaan system sekolah.
- kompetensi yang dievaluasi
Dalam evaluasi guru harus membuat kriteria system
penilaian terlebih dahulu, kriteria penilaian terhadap kompetensi yang akan
dibuat terdiri dari (1) instrumen keterampilan mengajar, (2) kepribadian dan
(3) profesionalisme. Dengan menggunakan instrumen penilaian barulah dilakukan
penilaian sesuai langkah-langkah yang telah dibuat. Dalam membuat rincian penilaian seorang supervisor harus memasukkan
rencana pengajaran, bahan-bahan kelas dan prosedur yang tepat; begitu juga
evaluasi sikap-kepribaadian dan profesionalisme;walau terstandar secara
sederhana. Ketika administrator dan supervisor memulai proses identifikasi
kompetensi guru, prinsip, metode dan pengembangan, rencana evaluasi sejak awal
adalah cara terbaik untuk menjaga komitmen guru guna proses evaluasi
a.
Evaluasi Keterampilan Mengajar
Untuk mengevaluasi keterampilan mengajar seorang supervisor
dapat memasuki kelas guru tanpa pembicaraan dan tak terduga, duduk dibelakang
ruangan, mengamati kinerja guru, membuat catatan mengajar sementara, menulis
ringkasan dan menyerahkan kepada guru. Selain itu seorang pengawas dapat
memberikan pelatihan kepada guru sehingga dapat membantu guru mengevaluasi
kinerja mereka sendiri. Dalam menguji kompetensi guru supervisor dapat
mengikuti pendekatan yang terdiri dari tiga tahap:
1)
pemeriksaan kinerja guru secara umum
2)
pemerikasaan kinerja guru didalam dan di
luar kelas
3)
pemeriksaan performan guru itu sendiri
Dari ketiga pendapat ini dapat menghasilkan dua
analisis yaitu:
1) analis eksternal yaitu menilai pembelajaran secara umum diluar
kegiatan guru
2) analisis internal yaitu analis yang berfokus pada tindakan guru
sendiri.
Tujuan dari kedua analisis tersebut adalah memberikan
waktu bagi guru dan pengawas untuk membantu pola fikir positif terhadap
evaluasi diri sendiri,dan mengembangkan rasa percaya diri.
Dalam melakukan evaluasi dapat menggunakan beberapa
teknik; misalnya model yang diterapkan dalam pembelajaran. Model pembelajaran
adalah pola yang diterapkan oleh guru dalam mengajar untuk merancang bahan ajar bagi sinergi berbagai sumber
belajar dalam aspek ini akan menitik beratkan
pada peran guru dalam pembelajaran.
Selanjutnya dapat dengan melihat skenario
pembelajaran (protocol materials). Dalam
hal ini dapat diamati bagaimana proses pembelajaran berlangsung. Yang ingin
dinilai adalah kepekaan guru dalam melaksanakan pembelajaran, kemampuan dalam
memankfaatkan situasi dan kemampuan dalam mengontrol.
Alternatif lain adalah dengan memberikan petunjuk
pelaksanaan dalam mengajar. Dalam menerapkan teknik ini supervisor pada ahirnya
dapat mengevaluasi kinerja guru apakah sesuai dengan yang di targetkan apa
belum, baik dari segi pelaksanaannya ataupun hasil.
Selain itu dapat juga dengan pendekatan laboratorium.
Maksudnya adalah dengan menghadirkan sekelompok siswa kemudian guru yang akan
diberi supervise diminta untuk demonstrasi mengajar. Dalam kegiatan evaluasi
semacam ini apa yang tampak pada guru sebagai kekurangan dalam mengajar
diberitahukan dan agar selanjutnya diperbaiki.
Dalam evaluasi kemampuan mengajar guru dapat juga
dengan pendekatan observasi. Cara ini dilakukan dengan membuat instrumen
observasi yang berupa seperangkat kriteria untuk guru, siswa atau kedua-duanya.
b. Evaluasi Kepribadian Dan
Profesionalisme
Dalam evaluasi guru terkait dengan kepribadian dan
profesionalisme ternyata ada masalah tersendiri yang harus diselesaikan oleh
supervisor, yaitu standart mana yang harus digunakan. Kriteria dan indikator
sikap dan profesionalitas masih sangat terbatas. Belum lagi kalau ada perbedaan
antara guru dan supervisor. Oleh karenanya supervisor harus menentukan dan
membuat kesepakatan atau seolah-olah kesepakatan dengan guru; tentunya dengan
cara yang bijak dan efektif.
c. Penggunaan perangkat evaluasi
Perangkat- perangkat yang digunakan dalam evaluasi
guru dapat dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu evaluasi yang dilakukan oleh
guru itu sendiri dan supervisor, penilaian siswa dengan memanfaatkan wali murid
d. Evaluasi oleh guru dan supervisor
Evaluasi guru baik skill mengajar, kepribadian dan
profesionalitas pada awalnya harus dilakukan oleh guru itu sendiri kemudian
evaluasi oleh supervisor dengan menggunakan instrument yang sama. Setelah
masing-masing melakukan evaluasi kemudian mendiskusikan hasil-hasil evaluasinya.
Hasil dari diskusi itu adalah rencana perbaikan pada masa berikutnya yang
pelaksanaannya masing-masing antara guru dan supervisor saling bekerjasama
dalam monitoring
e.
Memanfaatkan siswa dalam evaluasi guru
Dalam mengajar guru harus berorientasi pada siswa.
Dengan demikian siswa harus memiliki persepsi yang positif pada gurunya,
sehingga merasa nyaman dalam mengajar. Dalam memenuhi kebutuhan ini harus ada
manajemen yang menyediakan program penilaian guru oleh siswa dalam
pembelajaran. Caranya adalah dengan memberikan instrumen penilaian agar di isi
oleh siswa. Hal ini akan membantu dalam pengembangan skill mengajarnya dengan
mempertimbangkan sudut pandang siswa.
f. Memanfaatkan orang tua dalam evaluasi guru
Memanfaatkan penilaian orang tua dalam evaluasi guru
dimaksudkan menggali kepedulian orang tua tentang guru anaknya di sekolah.
Apakah sekolah sudah menyediakan guru terbaik bagi anaknya
B.
Teknik-teknik supervisi pendidikan
Usaha untuk membantu meningkatkan dan
mengembangkanpotensi sumber daya guru dapat dilaksanakan dengan berbagai alat
dan teknik supervisi.
Umumnya alat dan teknik supervise dapat dibedakan
menjadi dua macam alat/teknik, pertama, teknik yang bersifat
individual,yaitu teknik yang dilaksanakan
untuk seorang guru secara individual, dan kedua, teknik secara
kelompok, yaitu teknik yang dilakukan untuk melayani lebih dari satu orang.
Teknik yang bersifat individual diantaranya[4]:
a. perkunjungan kelas yaitu kepala sekolah atau
supervisor datang kekelas untuk meluhat cara guru mengajar di kelas, tujuannya
adalah untuk memperoleh data mengenai keadaan sebenarnya selama guru mengajar.
Dengan data itu supervisor dapat berbincang-bincang dengan guru tentang
kesulitan yang dihadapi guru. Pada kesempatan itu guru dapat mengemukakan
pengalaman-pengalaman yang berhasil dan hambatan-hambatan yang dihadapi serta
meminta bantuan, hal ini berfungsi
sebagai alat untuk mendorong guru agar meningkatkan cara mengajar guru dan cara
belajar siswa. Perkunjungan ini dapat memberikan kesempatan guru-guru untuk
mengungkap pengalamannya sekaligus sebagai usaha untuk memberikan rasa mampu
pada guru. Karena guru dapat belajar dan memperoleh pengertian secara moral
bagi pertumbuhan kariernya.
b.observasi kelas
Ada dua
jenis yaitu observasi langsung dan tidak langsung. Observasi langsung yaitu
dengan menggunakan alat observasi, supervisor mencatat absen yang dilihat pada
saat guru sedang mengajar. Sedangkan observasi tidak langsung, orang yang
diobservasi dibatasi oleh ruang kaca dimana murid murid tidak menghetahuinya
(biasanya dilakukan dalam laboratorium untuk pengajaran mikro). Tujuan dari
observasi kelas adalah untuk memperoleh data seobjektif mungkin sehingga bahan
yang diperoleh dapat di gunakan untuk menganalisis kesulitan kesulitan yang
dihadapi guru-guru dalam usaha
memperbaiki hal belajar mengajar, dan bagi guru sendiri data yang dianalilis
akan dapat membantu untuk mengubah cara-cara mengajar kearah yang lebi baik.
c.Percakapan Pribadi (individual
conference)
yaitu percakapan pribadi antara seorang supervisor
dengan seorang guru. Dalam percakapan itu kedua-duanya berusaha berjumpa dalam
pengertian tentang mengajar yang baik. Yang dipercayakan adalah usaha-usaha
untuk memecahkan problem yang dihadapi oleh guru. Adam dan Dickey mengatakan
bahwa salah satu alat yang penting dalam supervise adalah individual
conference, sebab seorang supervisor dapat bekerka secara individual dengan
guru dalam memecahkan problema-problema pribadi yang berhubungan dengan jabatan
mengajar misalnya pemilihan dan pemakaian alat-alat pelajaran tentang penentuan
dan penggunaan metode mengajar dan sebagainya. Hal ini bertujuan memperbaiki
kelemahan-kelemahan dan kekurangan yang sering dialami oleh seoran guru dalam
melaksanakan tugasnya di sekolah, misalnya malas malas membua persiapan, kurang
membaca buku yang terbaru, malas mengoreksi dan mengembalikan kertas ulangan
muroid-murid.
d. saling mengunjungi kelas (intervisitation)
Yang dimaksud dengan intervisitation adalah saling
mengunjungi antara guru yang satu kepada guru yang lain yang sedang mengajar,
hal ini dapat memberi ksempatan mengamati rekan lain yang sedang memberi pelajaran, juga dapat
membantu guru- guru yang ingin memperoleh pengalaman atau keterampilan tntang
teknik atau metode mengajar serta berguna bagi guru-guru yang menghadapi kesulitan
tertentu dalam mengajar. Hal ini juga dapat memberikan motivasi yang terarah
terhadap aktifitas mengajar, karena rekan guru mudah belajar dari temannya
sendiri karena keakrabannya.
e. menilai diri sendiri (self evaluation
checklist)
Salah satu tugas tersukar bagi guru-guru ialah melihat
kemampuan diri sendiri dalam menyajikan bahan pelajaran. Untuk mengukur
kemampuan mengajarnya, disamping menilai murid-muridnya, juga penilaian
terhadap diri sendiri merupakan teknik yang dapat membantu guru dalam pertumbuhannya.
Tipe dari alat ini yang dipergunakan antara lain berupa :
1.
Suatu daftar pandangan/pendapat yang
disampaikan kepada murid-murid untuk menilai pekerjaan atau suatu aktifitas.
Biasanya disusun dalam bentuk bertanya baik secara tertutup maupun secara
terbuka dan tidak perlu memakai nama
2.
menganalisis tes-tes terhadap unit-unit
kerja.
3.
Mencatat aktifitas murid-murid dalam
suatu catatan(record) baik mereka bekerja perseorangan ataupun kelompok
Berikut ini adalah contoh self evaluation chek list
yang di isi oleh guru sendiri tentang kegiatan-kegiatan guru yang mengajar.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengenai kegiatan yang dilakukan guru selama
berlangsung proes belajar mengajar. Tujuannya adalah agar guru dapat melihat
dirinya sendiri. Apakah ia melaksanakan kegiatan itu atau tidak.
Self Evaluation Check List
No
|
Kegiatan
selama mengajar
|
Ya
|
tidak
|
|
Selama mengajar saya
melaksanakan:
|
|
|
1
|
Mengajukan pertanyaan yang tepat.
|
|
|
2
|
Mengajukan pertanyaan tentang
fakta-fakta.
|
|
|
3
|
Memancing pertanyaan dari murid
|
|
|
4
|
Menjelaskan dan membaca dari buku
|
|
|
5
|
Dan lain lain
|
|
|
Selanjutnya adalah Teknik kelompok[5]:
Teknik kelompok ialah: supervise yang dilakukan secara kelompok, beberapa
kegiatan yang dapat dilakukan antara lain:
a)
mengadakan pertemuan atau rapat
b)
mengadakan diskusi kelompok
c)
mengadakan penataran-penataran (inservice
training)
C. Peran Supervisor Dalam Membantu Guru Mengevaluasi Diri
Seperti yang sudah dijelaskan di depan
bahwa tugas yang tersukar bagi guru-guru ialah melihat kemampuan diri sendiri
dalam menyajikan bahan pelajaran. Untuk mengukur kemampuan mengajarnya.
- membantu guru dalam menterjemahkan kurikulum dari pusat kedalam bahasa belajar-mengajar
- membantu guru-guru dalam meningkatkan program belajar mengajar termasuk disini merancang program,melaksanakan serta membantu dalam menilai proses dan hasil belajar mengajar.
Konsistensi supervisor dalam melakukan self evaluation
berkenaan dengan upaya membantu guru, merupakan hal yang perlu dilakukan.
Program supervisi dikembangkan dengan mengkaji kebutuhan guru yang sebenarnya.
Tujuan pengajaran bukan sekedar rumusan kalimat tetapi dapat menjawab
permasalahan pokok yang terkait dengan konsep ideal yang menjadi tujuan dan
pandangan hidup masyarakat.
Guru terkadang dalam proses pengajaran tidak memiliki
tujuan yang jelas, mengajar berdasarkan buku paket, dan mungkin tujuan hanya
satu domain (kognitif). Dihadapkan pada guru yang demikian, jelas mereka
memerlukan bantuan supervisor dalam memperbaiki kualitas pengajarannya.
Sehingga esensi kegiatan supervisi akan tercapai manakala terjadi peningkatan
kualitas pengajaran yang dilakukan secara kontinu (berkelanjutan).
A. Mengevaluasi Proses Pembelajaran
1.
Apakah siswa kita mengetahui tujuan
setiap pembelajaran dari mata pelajaran yang ia pelajari?
2.
Apakah siswa kita mengetahui
mengapa suatu topik dipelajari dan apa aplikasinya dari setiap topik itu?
3.
Apakah guru telah memberi tahu
siswanya tentang kemampuan apa yang harus mereka miliki setelah
pembelajaran dilakukan?
4.
Apakah guru memberi tahu siswa bagaimana
caranya memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk setiap topik?
5.
Apakah guru memberi tahu siswa sejak awal
tentang tugas-tugas apa yang harus mereka selesaikan selama mengikuti suatu
topik?
6.
Apakah guru sering memberikan stimulus
dan motivasi pada siswa?
7.
Apakah siswa merasa aman untuk bertanya
pada guru?
8.
Apakah guru memperlakukan secara
adil kepada setiap siswanya?
9.
Apakah tugas-tugas yang diberikan kepada
siswa sudah sewajarnya?
10. Apakah guru senantiasa mengajak berpikir rasional berpendapat secara
proporsional dan menyanggah secara logis?
11. Apakah guru selalu menghargai sekecil apapun kinerja siswa?
B. Mengevaluasi Faktor Pendukung
Pembelajaran
- Apakah guru menggunakan material pembelajaran yang variatif?
- Dapatkah guru mengidentifikasi alat pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajarannya?
- Apakah guru memaksimalkan sarana fisik di sekolah untuk pembelajaran?
- Apakah guru telah menugaskan siswa mencari sesuatu dari perpustakaan?
- Apakah guru telah memanfaatkan sumber daya lingkungan di luar sekolah untuk kegiatan pembelajaran?
C. Mengevaluasi Minat dan Sikap Siswa Belajar
1.
Pernahkah guru menggunakan fasilitas
psikotes bagi para siswanya?
2.
Pernahkah guru mengevaluasi pekerjaan
siswa berkaitan dengan minat dan sikapnya terhadap mata pelajaran yang
dipelajari siswa?
3.
Pernahkah siswa diberikan tes diagnostik
tentang minat dan sikap siswa terhadap suatu mata pelajaran?
4.
Apakah guru memberikan contoh konkrit
tentang suatu konsep berkaitan dengan minat siswa?
5.
Apakah guru pernah mengobservasi kegiatan
siswa di luar sekolah untuk mengidentifikasi permasalahan belajarnya?
Beberapa pertanyaan di atas adalah pertanyaan minimal yang dapat
diajukan untuk mengevaluasi diri tentang program, proses, faktor pendukung
suatu pembelajaran yang dilaksanakan seorang guru. Tentu saja,
serangkaian pertanyaan lain yang dipandang perlu dan berkaitan dengan kegiatan
mengevaluasi diri bisa ditambahkan ketika seorang guru melakukan evaluasi diri[7].
BAB
III
KESIMPULAN
Demikianlah sekelumit tentang evaluasi diri yang bisa
dikembangkan untuk kebutuhan guru mengajar dan kebutuhan siswa belajar.
Evaluasi diri akan terasa berat bila dalam pembelajaran tidak mulai
dipraktekkan. Seiring dengan era keterbukaan dan transparansi dalam
berbagai sektor, maka sudah sewajarnya setiap pelaku pendidikan dalam
mengakhiri kegiatan pembelajarannya dengan melakukan evaluasi diri.
Salah satu prinsip dalam supervisi adalah memberi
kesempatan kepada supervisor dan
guru-guru untuk mengadakan ‘’self evaluation’. Hal ini dimaksudkan untuk
memupuk kesadaran dari para guru agar mau meningkatkan kualitasnya dalam
menjalankan profesi. Selain itu evaluasi juga dianggap sebagai proses untuk
menetukan kualitas dari sesuatu atau sebuah pekerjaan
Dalam hal ini peran supervisor
sangat penting, mengingat tidak semua guru bersikap professional pada
profesinya. Namun demikian pelaksanaan supervisi harus tetap bijak dan
berpegang pada prinsip-prinsip supervisi.
Konsistensi supervisor dalam melakukan self evaluation
berkenaan dengan upaya membantu guru, merupakan hal yang perlu dilakukan.
Program supervisi dikembangkan dengan mengkaji kebutuhan guru yang sebenarnya
meliputi Mengevaluasi Proses
Pembelajaran, Mengevaluasi Faktor Pendukung Pembelajaran, Mengevaluasi Minat
dan Sikap Siswa Belajar
DAFTAR
PUSTAKA
Oliva, Peter. F. 1984. Supervison for Today’s
School. New York: Longman.
Purwanto,Ngalim. 2008 Administrasi dan supervise
pendidikan.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sahertian, Piet A. 2000. Supervisi Pendidikan
Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia.Jakarta: PT Rineka Cipta.
Gunawan, Ary H.1996 Adminidtrasi Sekolah Adminidtrasi Pendidikan
Mikro. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Veitzal Rivai dan Silviana Murni. 2009. Education
Management. Jakarta : Rajawali Press
[1]
Lihat sahertian, piet A 2009 konsep dasar & teknik supervise pendidikan
dalam rangka pengembangan SDM :hlm 1
[2]
Lihat Nurkancana, wayan dan sumartana (2000) evaluasi pendidikan hlm 1
dan bandingkan dengan Arikunto, Suharsimi (1996) dasar dasar evaluasi pendidikan,
hlm 2
[3] Lihat Veithzal Rivai dan Sylviana Murni hal. 818.
[4]
Lihat sahertian, piet A 2009 konsep dasar & teknik supervise pendidikan
dalam rangka pengembangan SDM :hlm 52
[5]
Lihat purwanto.ngalim 2008 administrasi dan supervise pendidikan :hlm 122
[6]
Lihat sahertian, piet A. 2000, konsep dasar dan teknik supervise pendidikan
dalam rangka pengembangan sumber daya manusia hal 130
[7]Lihat
http://rbaryans.wordpress.com/2010/12/29mengevaluasi-efektifitas-pembelajaran-melalui-evaluasi-diri
kritik al gozali terhadap filosof
by: manshur musthofa
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Penyebaran ilmu Filsafat yunani telah tersebar di
zaman al-ghazali, dan dipandang telah menggoncang keimanan. Karena kekaguman
mereka yang berlebihan terhadap filsafat yunani yang dipandang telah atheis, mereka mengekor
padanya sampai pada tingkat keingkaran dan kekufuran. Filsafat yunani begitu
menarik bagi para cendikiawan muslim, sehingga mereka hanya mentransfer dan
bertaqlid buta. Melihat kondisi ini al-ghazali bertekat mempelajari dan
mendalami filsafat untuk dapat mengkritik secara bijaksana dan ilmiah
Al-ghazali adalah seorang ahli fikir islam yang dalam
ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya, puluhan buku
telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu antara lain teologi Islam,
hukum islam, tasawuf tafsir, ahlaq dan adab kesopanan.
Pengaruh al-ghazali di
kalangan kaum mulimin sangat besar, sehingga menurut pandangan-pandangan
orang-orang ahli ketimuran (orientalis), agama islam yang di gambarkan oleh
kebanyakan kaum muslimin berpangkal pada konsepsi al-ghazali
Al-ghazali Dalam kitabnya yang
berjudul tahafut falasifah melukiskan suatu sisi yang bertentangan antara agama
dan filsafat. Pertentangan ini, dalam islam telah muncul dalam berbagai wujud
dan bentuk yang berbeda sejak filsafat memasuki kehidupan umat islam. Pada
waktu islam lahir dan alqur’an diturunkan filsafat belum ada di sana, sehingga
alquran dan hadist tidak perlu mendebatkannya.
- RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana biografi al-ghazali?
- karya imam al-ghazali?
- bagaimanakah sikap al-ghazali terhadap para filosof ?
BAB II
PEMBAHASAN
- Riwayat Hidup Al-Ghozali
Beliau adalah abu hamid bin Muhammad bin ahmad al
ghazali, lahir tahun 450 H di tus, suatu kota kecil di khurasan (iran). Kata
kata ghazali terkadang diucapkan dengan dua z. dengan menduakalikan huruf z,
kata al ghazzali di ambil dari kata ghazzal, artinya tukang pemintal benang
wol, sedang al-ghazali dengan satu z, diambil dari kata ghazalah, nama kampong
kelahiran al-ghozali. Sebutan terahir ini banyak dipakai.
Ayah al-ghazali, adalah seorang tasawuf yang sholeh dan
meninggal dunia ketika al-ghazali beserta saudaranya masih kecil. Akan tetapi
sebelum wafatnya beliau telah menitipkan kedua anaknya tersebut kepada seorang
tasawuf pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam hidupnya.
Al-ghazali pertama kali belajar belajar agama di kota
tus, kemudian meneruskan di jurjan, dan ahirnya di naisabur pada imam juwaini,
sampai yang terakhir ini wafat tahun 478H/1085M. kemudian beliau berkunjung
kepada nidham al-Mulk di kota mu’askar, dan dari padanya mendapatkan kehormatan
dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu enam tahun lamanya.
Pada tahun 483H/1090M, ia diangkat menjadi guru disekolah nizhamah bagdad, dan
pekerjaannya dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di bagdad selain
mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran
golongan-golongan batiniyah, isma’iliah, golongan filsafat dan lain-lain.
Ketika itu, kehidupannya goncang, karena keraguan yang
meliputi dirinya, “apakah jalan yang ditempuh sudah benar atau tidak?” perasaan
ini timbul dalam dirinya setelah mempelajari ilmu kalam (teologi) yang
diperoleh dari al juaini. Teologi
membahas berbagai aliran yang antara satu sama lain terhadap kontradiksi. Al
ghazali ragu, mana diantara aliran-aliran itu yang betul-betul benar. Bukunya
yang berjudul al munqiz min ad-dalal menjelaskan tentang keadaan ini. Dalam
bukunya ini tergambar keinginan untuk mencari kebenaran yang sebenarnya.
Alghzali mulai tidak percaya pada ilmu pengetahuan yan diperolehnya melalui
panca indra, sebab panca indra sering kali salah atau berdusta. Ia kemudian
meletakkan kepercayaan kepada akal, tetapi ternyata juga tidak memuaskan.
Tasawuflah yang kemudian menghilangkan rasa syak dalam dirinya. Pengetahuan
tasawuf yang diperolehnya melalui kalbu membuat al ghazali merasa yakin
mendapat pengetahuan yang benar.[1]
kemudian ia pindah ke palestina dan disini pun ia
tetap merenung, membaca dan menulis dengan mengambil tempat di masjid baitil
maqdis, sesudah itu tergeraklah hatinya untuk menjalankan ibadah haji, dan
setelah selesai ia pulang ke negeri kelahirannya sendiri, yaitu kota tus dan
disana ia tetap seperti biasanya, berkhalwat dan beribadah, keadaan tersebut
berlangsung 10 tahun lamanya sejak kepindahannya ke damsyik dan dalam masa ini
ia menuliskan buku-bukunya yang terkenal antara lain ihya’ulumudiin[2]
pada tahun 499 H, atas desakan para penguasa ia
diminta mengajar di nizamiyah, akan tetapi hanya sampai dua tahun ia kembali ke
daerah asalnya (Tus). Di sini ia mendirikan sekolah untuk para fuqoha dan juga
membangun tempat berkhalwat para mutasawifin. Pada tahun 505 H/1111 M. ia
mendapat gelar “hujjatul Islam” karena ia dapat mengadakan
pembelaan yang berhasil dan memuaskan terhadap anasir yang dapat membahayakan
kepercayaan dan akidah umat islam dan dapat pula meluruskan tasawuf yang
merusak amal (Syari’at )umat islam.[3]
- Karya Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali dikenal sebagai penulis produktif.
Sejumlah karyanya kini tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Bidang Ushuluddin dan Akidah
1. Arba’in Fi Ushuliddin merupakan juz kedua dari kitabnya, Jawahir
Alquran.
2. Qawa’id al-’Aqa`id yang disatukan dengan Ihya` Ulumuddin pada jilid pertama.
2. Qawa’id al-’Aqa`id yang disatukan dengan Ihya` Ulumuddin pada jilid pertama.
3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
4. Tahafut Al Falasifah berisi bantahan Al-Ghazali
terhadap pendapat dan pemikiran para filsuf, dengan menggunakan kaidah mazhab
Asy’ariyah.
5. Faishal At-Tafriqah Bayn al-Islam Wa Zanadiqah.
Bidang Usul Fikih, Fikih, Filsafat, dan Tasawuf
1. Al-Mustashfa Min Ilmi al-Ushul
2. Mahakun Nadzar
3. Mi’yar al’Ilmi
4. Ma’arif al-`Aqliyah
5. Misykat al-Anwar
6. Al-Maqshad Al-Asna Fi Syarhi Asma Allah Al-Husna
7. Mizan al-Amal
8. Al-Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi
9. Al-Ajwibah Al-Ghazaliyah Fi al-Masa1il Ukhrawiyah
10. Ma’arij al-Qudsi fi Madariji Ma’rifati An-Nafsi
11. Qanun At-Ta’wil
12. Fadhaih Al-Bathiniyah
13. Al-Qisthas Al-Mustaqim
14. Iljam al-Awam ‘An ‘Ilmi al-Kalam
15. Raudhah ath-Thalibin Wa Umdah al-Salikin
16. Ar-Risalah Al-Laduniyah
17. Ihya` Ulum al-din
18. Al-Munqidzu Min adl-Dlalal
19.Al-Wasith
20. Al-Basith
21. Al-Wajiz
22. Al-Khulashah
23. Minhaj al-’Abidin
Masih banyak lagi karya Imam Al-Ghazali. Begitu banyak
karya yang dihasilkan, menunjukkan keluasan ilmu yang dimiliki oleh Al-Ghazali.
Ia merupakan pakar dan ahli dalam bidang fikih, namun menguasai juga tasawuf,
filsafat, dan ilmu kalam. Sejumlah pihak memberikan gelar padanya sebagai
seorang Hujjah al-Islam.
Karya Imam Al-Ghazali yang sangat terkenal di dunia
adalah kitab Ihya` Ulum al-din. Kitab ini merupakan magnum opus atau masterpiece
Al-Ghazali. Bahkan, kitab ini telah menjadi rujukan umat Islam di seluruh
dunia, termasuk Indonesia dalam mempelajari ilmu tasawuf. Di dalamnya,
dijelaskan tentang jalan seorang hamba untuk menuju ke hadirat Allah.
C . Kritik Al-Ghazali Terhadap Para
Filosof
Filsafat yunani betul betul telah tersebar di zaman
al-ghazali, sampai hampir menggoncang iman. Para cendikiawan menerimanya tanpa
menyeleksi, mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan. Karena kekaguman
mereka yang berlebihan terhadap filsafat yunani yang atheis itu, mereka
mengekor padanya sampai pada tingkat keingkaran dan kekufuran. Filsafat yunani
begitu menarik bagi para cendikiawan muslim, sehingga mereka hanya mentransfer
dan bertaqlid buta. Melihat kondisi ini al-ghazali bertekat mempelajari dan
mendalami filsafat untuk dapat mengkritik secara bijaksana dan ilmiah[4]
Diantara kitab-kitab yang sangat popular dalam dunia
filsafat islam, bahkan dalam lingkungan filsafat Kristen di zaman pertengahan
adalah Tahafut Falasifah. Dari segi logat, tahafut berarti keguguran
dan kelemahan. Yang dimaksudkan ialah bahwa para filosof telah jatuh mati
akibat tikaman maut yang diarahkan oleh al-ghazali terhadap pemikiran mereka.
Pada hakikatnya, tikaman itu memang mematikan, mengenai inti masalah, sehingga
ilmu filsafat tidak lagi muncul sesudah itu (di dunia Islam), walau ada upaya
mati-matian dari ibnu rusdy untuk mempertahankannya.[5]
Al-Ghazali adalah orang pertama-tama mendalami
filsafat dan yang sanggup mengeritiknya pula. Hasil peninjauan terhadap
filsafat dibukukannya dalam bukunya maqasid al-falasifah dan tahafut al-falasifah.
Buku maqasid al falasifah berisi tiga persoalan
filsafat, yaitu logika, ketuhanan dan fisika yang diuraikanya dengan
sejujurnya, seolah-olah dia seorang filosof yang menulis tentang kefilsafatan.
Sesudah itu, ia menulis buku berikutnya, yaitu tahafut al falasifah dimana
ia bertindak bukan sebagai filosof, melainkan sebagai seorang tokoh Islam yang
hendak mengeritik filsafat dan menunjukkan kelemahan-kelemahan serta
kejanggalan-kejanggalannya, yaitu dalam hal yang berlawanan dengan agama.
Menurut al-ghazali, lapangan filsafat ada enam, yaitu
:matematika,logika,fisika, metafisika (ketuhanan), politik, dan etika. Hubungan
lapangan-lapangan tersebut terhadap agama tidak sama; ada yang tidak berlawanan
sama sekali dengan agama, dan ada pula yang sangat berlawanan dengan agama.
Menurut
al-ghazali, agama tidak melarang atau memerintahkan ilmu matematika
(ilmu pasti), karena ilmu ini adalah hasil pembuktian pikiran yang tidak bisa
diingkari sesedah dipahami dan diketahui. Tetapi ilmu tersebut menimbulkan dua
keberatan, pertama, karena kebenaran dan ketelitian ilmu matematika, maka boleh
jadi ada orang yang mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula
keadaannya bahkan sampai pada lapangan ketuhanan. Kedua, sikap yang timbul dari
pemeluk islam yang bodoh, yaitu menduga bahwa un tuk menegakkan agama harus
mengingkari semua ilmu yang berasal dari filosof-filosof, dan mengatakan bahwa
mereka bodoh semua, sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga
harus diingkari dan dianggap berlawanan dengan syara’
Lapangan logika menurut
al-ghazali juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama, atau dengan perkataan
lain, agama tidak memerintahkan atau melarang logika. Logika berisi
penyelidikan tentang dalil-dalil( alasan-alasan) pembuktian, kias-kias (syllogisme),
syarat-syarat pembuktian (burhan) definisi-definisi dan sebagainya. Semua
persoalan ini tidak perlu diingkari, sebab masih sejenis dengan yang dipakai
oleh ulama-ulama theology islam, meskipun kadang-kadang berbeda istilah dan
kata-katanya. Bahaya yang di timbulkan oleh logika dan filosof-filosof, ialah
karena syarat-syarat pembuktian bisa menimbulkan keyakinan, maka syarat-syarat
pembuktian tersebut juga mendahului dalam soal-soal ketuhanan (metafisika),
sedangkan sebenarnya tidak demikian.
Ilmu fisika, menurut
al-ghazali membicarakan tentang planet-planet, unsur-unsur (benda-benda))
tunggal, seperti air, hawa, tanah dan api; kemudian benda-benda tersusun
seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, logam sebab-sebab perubahannya dan pelarutannya.
Pembahasan tersebut sejenis dengan pembahasan lapangan kedokteran, yaitu menyelidiki
tubuh orang, anggota-anggota badannya dan reaksi-reaksi kimia yang terjadi di
dalamnya. Sebagaimana untuk agama tidak disyaratkan tidak mengingkari ilmu
kedokteran, maka demikian pula ilmu fisika juga tidak perlu diingkari, kecuali
dalam beberapa hal yang disebutkan dalam buku tahafut al falasifah, yang dapat
disimpulkan bahwa alam semesta ini di kuasai (tunduk) kepada tuhan, tidak bekerja dengan diinya
sendiri, tetapi bekerja karena tuhan,Zat penciptanya.
Lapangan ketuhanan
(metafisika) menurut al-ghazali, banyak sekali berisi kesalahan
filosof-filosof. Mereka tidak bisa mengadakan ketelitian dalam lapangan
ketuhanan, sebagaimana yang telah diadakan oleh mereka dalam lapanganlogika,
dan oleh karena itu perbedaan pendapat mereka dalam lapangan tersebut banyak
sekali. Diantara tokoh yunani yang mendekati filosof-filosof islam, seperti
yang dinukil oleh al-farabi dan ibnu sina ialah aristoteles. Kesalahan
kesalahan mereka dalam lapangan tersebut ada 20 soal; dan dalam 17 diantaranya
mereka harus dinyatakan sebagai orang bidat, sedang dalam tiga soal
selebihnya, mereka dinyatakan sebagai ateis (kafir), karena fikiran-fikiran
mereka dalam tiga soal tersebut berlawanan dengan pendirian semua kaum
muslimin.
Dalam lapangan politik,
menurut al-ghazali, semua kata-kata para filosof berkisar pada suatu soal saja,
yaitu hikmat kebijaksanaan yang bertalian dengan soal-soal dan kekuasaan
duniawi.
Dalam segi moral (akhlak)
perkataan mereka berkisar pada sifat jiwa, macam macamnya dan cara menghadapinya.[6]
masalah dua puluh macam tersebut
dapat di bagi sebagai berikut:
- hubungan allah dengan alam. Hal ini meliputi empat masalah yang pertama:
a)
kadimnya alam,
b)
keabadian alam dan zaman
c)
allah pencipta dan pembuat alam, dan
d)
ketidak mampuan membuktikan adanya
pembuat alam
- keesaan dan ketidak mampuan membuktikannya (masalah kelima)
- sifat sifat ilahi (masalah ke enam sampai dengan dua belas)
- mengetahui hal-hal kecil “juz iyah” (masalah ke tigabelas)
- masalah falaq dan alam (masalah keempat belas sampai keenam belas)
- sebab akibat (masalah ketujuh belas)
- jiwa manusia (masalah kedelapan belas dan sembilan belas)
- kebangkitan jasad pada hari akhirat ( masalah kedua puluh)[7]
Tiga pikiran filsafat metafisika yang menurut
al-ghazali sangat berlawanan dengan islam, dan oleh karenanya para filosof
harus dinyatakan sebagai orang atheis ialah: qadimnya alam, tidak mengetahuinya
tuhan terhadap soal-soal peristiwa kecil, dan pengingkaran terhadap kebangkitan
jasmani.
a.
Qadimnya alam
Filosof mengatakan bahwa alam ini qadim. Qadimnya
tuhan atas alam sama dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (sebab atas
akibatnya) yaitu dari segi zat dan tingkatan, bukan dari segi zaman. Alasannya
adalah tidak mungkin wujud yang hadis (baru), yaitu alam, keluar dari qadim
(tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim
tersebut sudah ada sedang alam belum lagi ada.
Tentang mengapa alam belum wujud, maka hal ini
disebabkan pada waktu itu hal hal yang menyebabkan wujudnya belum ada. Jadi
pada waktu tersebut ala mini baru merupakan suatu kemungkinan murni artinya
bisa wujud bisa tidak.
Sesudah wahyu itu datang, maka ala mini menjadi wujud,
dan wujud ini disebabkan karena factor-faktor yang menyebabkan wujudnya. Tetapi
timbul pertanyaan mengapa factor-faktor tersebut baru timbul pada waktu ini dan
tidak timbul sebelumnya. Kalau dikatakan tuha mula-mula tidak berkuasa
mengadakan alam, kemudian menjadi kuasa untuk mengadakannya, maka timbul pula
pertanyaan, mengapa kekuasaan ini baru timbul pada masa tersebut bukan pada
masa sebelumnya. Atau kalau dikatakan tuhan sebelumnya tidak mempunyai tujuan bagi wujudnya alam, kemudian maksud ini
timbul, maka pertanyaan yang muncul juga sama, yaitu mengapa tujuan itu timbul.
Atau kalau dikatakan tuhan mula-mula tidak menghendaki adanya, maka timbul
pertanyaan mengapa kehendak tersebut timbul dan dimana pula timbulnya,apakah
pada zatnya atau pada selain zatnya .
Jawaban al-ghazali: apa keberatannya kalau dikatakan
bahwa iradat (kehendak tuhan) yang qadim itu menghendaki wujud alam pada waktu
diwujudkannya.
Boleh jadi timbul pertanyaan, kalau yang dimaksud
dengan iradah yang qadim itu seperti niat kita untuk mengadakan suatu
perbuatan, maka perbuatan tersebut tidak mungkin terlambat, kecuali karena ada
halangan, sedangkan bagi tuhan sebagai zat yang mengadakan pembuatan, sudah
lengkap syarat-syaratnya dan tidak ada hal yang perlu dinantikan lagi,tetapi
perbuatannya terlambat juga.
Jawab al-ghazali ialah, bahwa perkataan tersebut tidak
lebih kuat dari pada perkataan mereka yang mempercayai kebaruan alam karena
kehendak yang qadim.
Timbul pula pertanyaan lain yaitu bahwa nilai semua
waktu dalam pertaliannya dengan kehendak adalah sama, tetapi mengapa satu waktu
dipilih untuk mewujudkan alam, dan waktu yang sebelumnya atau sesudahnya tidak
dipilih?
Jawab alghazali ialah, bahwa arti kehendak ialah yang
memungkinkan untuk membedakan sesuatu dari lainnya. Kehendak tuhan adalah
mutlaq, artinya bisa memilih suatu waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa
ditanya sebabnya, karena sebab tersebut adalah kehendak-Nya itu sendiri. Kalau
masih ditanya sebabnya, maka artinya kehendak tuhan itu terbatas tidak lagi
bebas; sedangkan kehendak itu bersifat bebas dan mutlaq[8].
b.
Ilmu Tuhan Terhadap Hal-Hal/Peristiwa Kecil
Golongan filosof berpendirian bahwa tuhan tidak
mengetahui hal-hal kecil, kecuali dengan cara yang umum. Alasannya mereka
adalah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan
ilmu selalu mengikuti kepada yang diketahui atau dengan perkataan lain,
perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu ini
berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu, atau sebaliknya, berarti tuhan
mengalami perubahan, sedangkan perubahan zat tuhan tidak mungkin terjadi.
Menurut al-Ghazali: ilmu adalah suatu tambahan atau pertalian
dengan zat, artinya lain dari pada zatnya. Pendapat ini berbeda dengan pendapat
para filosof yang mengatakan bahwa sifat-sifat tuhan adalah juga zat-Nya, yang
berarti tidak ada pemisahan antara keduanya, atau mereka tidak mengenal istilah
tambahan seperti yang dikenalkan oleh al-ghazali.
Menurut alghazali
Kalau terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat tuhan tetap
pada keadaan yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada orang berdiri di sebelah
kanan kita, kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah
sebenarnya dia, bukan kita.
Lagi pula kalau perubahan ilmu bisa menimbulkan
sesuatu perubahan pada zat yang mengetahui, sebagai mana yang di pegangi oleh
golongan filosof, maka apakah mereka akan mengatakan bahwa berbilangnya ilmu
juga menimbulkan bilangan pada zat tuhan[9].
c.
Kebangkitan Jasmani
Menurut tinjauan filosof-filosof dari segi pikiran,
alam akhirat adalah alam kerohanian, bukan alam materiil (alam kebendaan),
karena perkara kerohanian itu lebih tinggi nilainya. Karena itu menurut mereka,
pikiran tidak mengharuskan adanya kebangkitan jasmani, kelezatan atau siksaan
jasmani, surga atau neraka serta segala isinya. Kesemuanya itu memang disebut
dalam alquran, tetapi dengan maksud untuk memudahkan pemahaman terhadap alam
kerohanian bagi orang-orang biasa. Keunggulan alam kerohanian sebenarnya juga
berlaku dalam dunia ini, yang didasarkan pada kekuatan berfikir dan kelezatan
mendapatkan obyek-obyek pikiran. Tetapi hal itu tidak bisa dicapai disebabkan karena
kesibukan-kesibukan benda, dan baru dicpai di akhirat nanti, dimana
kesibukan-kesibukan benda ini tidak lagi menjadi penghalangnya.
Agar sesuai dengan suasana kerohanian, maka
kebangkitan di akhirat nanti bersifat rohani pula. Jadi kebangkitan jasmani yang
berarti badan kita akan dikembalikan lagi tidak perlu terjadi.
Jawaban al-ghazali mengatakan bahwa jiwa manusia tetap
wujud sesudah mati (berpisah dengan badan), karena ia merupakan substansi yang
berdiri sendiri. Pendirian trsebut tidak berlawanan dengan syara’ bahkan di
tunjukkan seperti yang disebutkan dalam alquran surat Ali Imran “ janganlah
engkau kira bahwa mereka yang terbunuh pada jalan allah itu mati, bahkan mereka
itu hidup disisi tuhannya mendapat rizki dan gembira
Kemudian adanya nash-nash lain yang menyatakan adanya
kebangkitan, yaitu kebangkitan badan. Kebangkitan ini adalah suatu hal yang
mungkin yaitu dengan jalan mengembalikan jiwa kepada badan, badan apapun
juga,baik dari bahan badan yang pertama atau bahan lainnya, atau bahan badan
yang baru dijadikan sama sekali. Karena manusia disebut manusia karena jiwanya,
bukan karena badannya. Bagian-bagian badan manusia dapat berganti-ganti dari kecil menjadi besar, karena kurus atau
gemuk, atau karena pergantian makanan namun ia tetap manusia juga.
Tuhan telah dapat membuat dari sperma yang ada di
rahim wanita, anggota-anggota badan yang bermacam-macam,berupa daging,urat
syaraf,tulang,mata, lidah, gigi dan sebagainya yang semuanya ini berbeda keadaan sifat dan fungsinya, meskipun saling
berdekatan dan berhubungan satu sama lain. Apakah tuhan yang demikian
kekuasaan-Nya tidak sanggup membuat manusia yang sempurna dari tulang belulang
yang sudah rusak.[10]
BAB III
KESIMPULAN
Menurut al-ghazali, lapangan filsafat ada enam, yaitu
:matematika,logika,fisika, metafisika (ketuhanan), politik, dan etika. Hubungan
lapangan-lapangan tersebut terhadap agama tidak sama; ada yang tidak berlawanan
sama sekali dengan agama, dan ada pula yang sangat berlawanan dengan agama.
Menurut
al-ghazali, agama tidak melarang atau memerintahkan ilmu matematika
(ilmu pasti), karena ilmu ini adalah hasil pembuktian pikiran yang tidak bisa
diingkari sesedah dipahami dan diketahui. Tetapi ilmu tersebut menimbulkan dua
keberatan, pertama, karena kebenaran dan ketelitian ilmu matematika, maka boleh
jadi ada orang yang mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula
keadaannya bahkan sampai pada lapangan ketuhanan. Kedua, sikap yang timbul dari
pemeluk islam yang bodoh, yaitu menduga bahwa untuk menegakkan agama harus
mengingkari semua ilmu yang berasal dari filosof-filosof, dan mengatakan bahwa
mereka bodoh semua, sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga
harus diingkari dan dianggap berlawanan dengan syara
Isi pokok mengenai kecaman al
ghazali terhadap tiga persoalan itu adalah sebagai berikut pertama tentang
qadimnya alam, menurut al ghazali pendapat ini membwa kepada keyakinan akan
adanya yang qadim selain tuhan, atau berarti mbanyak yang qadim, sedang dalam
islam yang qadim hanya satu yaitu tuhan. Kedua tuhan tidak mengetahui perincian
yang etrjadi di alam, menurut al ghazali pendapat ini akan menyesatkan umat
islam karena paham ini membawa kepada pengingkaran sifat kemahatahuan tuhan.
Ketiga tentang tidak adanya pembangkitan jasmani, yang abadi hanya ruh,
sedangkan jasmani akan hancur dan tida kekal, alghazali berpendapat bahwa dalam
alquran banyak ayat-ayat yang menyebutkan soal pembangkitan jasmanidengan
gambaran yang bersifat materiil, sehingga meyakini tidak adanya pembangkitan
jasmani berarti menolak ayat ayat yang menyatakan adanya pembangkitan jasmani.
DAFTAR PUSTAKA
Asmuni.Yusron.1996,
Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Busthami.M.Said,
1992. Pembaharu Dan Pembaharuan Dalam Islam. Ponorogo: Pusat Studi Ilmu
dan Amal (PSIA)
Tim penyusun,
1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Houve
Hanafi,
Ahmad.1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: PT Bulan
Bintang
Daudy, Ahmad,1984. Segi-Segi Pemikiran Falsafi
Dalam Islam.Jakarta: Bulan Bintang
[1]
Lihat tim penyusun, 1994,ensiklopedi islam hal 26
[3]
Lihat asmuni.yusron.1996,dirasah islamiyah II hal 134
[4]
Lihat busthami.M.Said, 1992. pembaharu dan pembaharuan dalam islam hal 78-79
[5]
Lihat daudy, ahmad,1984.segi-segi pemikiran falsafi dalam islam.hal 57
[6]
Lihat hanafi, ahmad hal 143-144
[7]
Lihat Daudy, ahmad hal 66
[8]
Lihat hanafi, ahmad hal 144-146
[9]
Ibid hal 148-149
[10]
Ibid hal. 150-152
Langganan:
Postingan (Atom)